JAKARTA, KOMPAS - UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ditengarai belum cukup mengatur semua kemungkinan persoalan yang berpotensi muncul pada Pemilu 2019. Terkait hal itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu dibutuhkan untuk mengatasinya.
Perppu itu, antara lain dibutuhkan untuk menambah surat suara cadangan di tempat pemungutan suara (TPS) yang akan jadi tempat memilih para pemilih pindahan. Perppu, juga diperlukan untuk menjamin hak pilih warga yang belum masuk daftar pemilih tetap (DPT) dan belum punya KTP-elektronik tetapi ingin menggunakan surat keterangan pengganti KTP-el untuk mencoblos.
Selain itu, dalam catatan Kompas, juga sempat muncul kekhawatiran mengenai kompleksitas pemungutan dan penghitungan suara. Pasal 383 Ayat 2 UU Pemilu menyebutkan, penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS di hari pemungutan suara.
Berdasar simulasi yang dilakukan KPU, dalam kondisi normal, penghitungan surat suara bisa rampung jelang tengah malam. Namun, ini tak menutup kemungkinan penghitungan suara di TPS baru selesai setelah berganti hari.
Di daerah dengan kecamatan yang memiliki lebih dari 1.000 TPS, seperti DKI Jakarta, juga muncul permintaan agar ada solusi untuk rekapitulasi perolehan suara di tingkat kecamatan. Di UU 7/2017 disebutkan, rekapitulasi hasil pemungutan suara di TPS dilakukan di kecamatan oleh panitia pemilihan kecamatan (PPK) yang berjumlah lima personel dalam waktu tiga pekan. Namun, dengan jumlah lebih dari 1.000 TPS, dikhawatirkan sulit menyelesaikan rekapitulasi di kecamatan dalam waktu tiga pekan.
Solusi komprehensif
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi di Jakarta, Jumat (22/2/2019) mengatakan, hak pilih warga harus dilindungi karena dijamin konstitusi. Terkait hal itu, perppu bisa jadi solusi, tapi tidak cukup jika hanya mengatur tentang tambahan surat suara cadangan. Perppu juga perlu mengatur hal lain yang belum diatur di UU Pemilu.
“Sayang kalau perppu hanya mengatur satu pasal. Banyak kelemahan di Undang-Undang Pemilu. Jika kita membuka wacana perppu, banyak pasal yang perlu dimasukkan untuk mengatur persoalan lain agar komprehensif,” katanya.
Seperti diberitakan, KPU menghadapi kesulitan mengakomodasi pemilih pindahan yang sebagian terkonsentrasi di TPS tertentu. Ini karena surat suara hanya dicetak sejumlah daftar pemilih tetap (DPT) ditambah dua persen suara cadangan. Pengaturan itu ada di UU Pemilu, sehingga KPU sulit menyediakan tambahan surat suara di TPS itu.
Hingga 17 Februari 2019, ada 275.923 pemilih mengurus pindah memilih, tersebar di 87.483 TPS di 496 kota/kabupaten. KPU masih melayani pindah memilih untuk dimasukkan ke daftar pemilih tambahan (DPTb) hingga 17 Maret 2019.
Selain itu, Baidowi menuturkan, ada banyak persoalan lain yang juga perlu diatur dengan perppu. Hal itu misalnya terkait jaminan hak pilih bagi warga yang belum masuk DPT dan belum punya KTP-el, penghitungan suara di TPS yang mungkin baru selesai setelah hari pemungutan suara berlalu, serta rekapitulasi hasil pemungutan suara di kecamatan yang mungkin membutuhkan waktu lebih dari tiga pekan.
Pandangan berbeda
Anggota KPU Viryan Aziz menyampaikan, ada dua alternatif solusi untuk memecahkan permasalahan penyediaan surat suara pemilih pindahan, yakni pembuatan perppu dan uji materi terhadap Pasal 344 Ayat 2 UU Pemilu, yang mengatur jumlah surat suara dicetak,
“KPU butuh dasar agar pemilih pindahan bisa disiapkan surat suaranya tersendiri. Pembuatan Perppu merupakan ranah pemerintah, sedangkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi bisa dilakukan pemilih pindahan karena mereka terancam kehilangan hak pilih,” katanya.
Namun, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai perppu tak diperlukan. Dia meminta KPU tetap menjalankan peraturan KPU yang ada.
Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali mengatakan, perppu tidak dibutuhkan karena pembahasannya akan memakan waktu panjang. Solusi dapat ditempuh lewat kesepakatan bersama antara DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu, dan partai politik, untuk membolehkan KPU mencetak surat suara cadangan melebihi batas 2 persen jumlah DPT diatur di UU Pemilu.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay menuturkan uji materi UU Pemilu ke MK bisa menjadi solusi alternatif jika perppu berpotensi lambat dibahas oleh DPR.
“Perkiraan saya, prosesnya bisa cepat di MK. MK pernah memutus secara cepat. Saat ini juga pasti bisa karena menyangkut hak konstitusional warga untuk memilih,” katanya.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Erik Kurniawanmengatakan agar jangan buru-buru mengeluarkan perppu untuk menyelesaikan persoalan itu.