Edy Cahyono Memandirikan Penyandang Disabilitas
Edy Cahyono (39) dan beberapa teman, menyisihkan waktunya untuk mendampingi mereka yang berkebutuhan khusus. Harapannya, para penyandang disabilitas itu bisa lebih produktif dan mandiri. Hal itu terbukti ketika puluhan “anak asuh” di Desa Resapombo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, mulai percaya diri dan mendapat penghasilan tambahan.
Edy terlibat dengan penyandang disabilitas sejak tahun 2016 ketika ia menghidupkan kembali Kelompok Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (KRBM) di Blitar yang mati suri. Setahun kemudian, ia bersama beberapa kawan dan pemerintah daerah, menginisiasi berdirinya sebuah shelter workshop berupa Kampung Peduli Disabilitas di Desa Resapombo.
Resapombo merupakan salah satu desa teratas di lereng barat daya Gunung Kawi. Sebagai daerah agraris, sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Meski memiliki kesamaan dengan desa lain, satu hal yang menarik perhatian bahwa di desa ini terdapat 55 orang penyandang disabilitas yang sebagian besar merupakan tunagrahita.
Jumlah mereka yang sempat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA bisa dihitung dengan jari. Sedangkan sebagian besar yang lain lebih banyak berada di rumah. Terkadang membantu orang tua bekerja ala kadarnya karena mereka memang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan.
Melalui Kampung Peduli Disabilitas inilah, enam hari dalam sepekan, warga berkebutuhan khusus di tempat itu mendapatkan pendampingan. Edy dan rekan yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Harapan Mulia mengajarkan sejumlah keterampilan, mulai dari mengolah makanan hingga kerajinan tangan.
Dalam perjalanannya, produk makanan kurang bisa terserap pasar. Sebaliknya, hasil keterampilan berupa kain batik justru makin berkibar. Setiap bulan lebih dari 100 lembar kain batik bermotif abstrak dilempar ke pasaran. Pangsa pasarnya pun tidak hanya di Blitar tetapi juga luar daerah. Sejumlah instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Blitar juga mengenakan batik karya penyandang disabilitas dari Resapombo.
Para penyandang disabilitas itu tidak hanya diajarkan tetapi juga dilibatkan langsung dalam proses. Tahap demi tahap, mulai dari pembuatan motif batik, pewarnaan, pencelupan, hingga menjadi produk jadi mereka ikuti.
“Kini, selain produk batik, kepercayaan diri mereka mulai terlihat meski mereka masih harus terus dibimbing. Begitu pula dari sisi sosial, mereka sudah tidak lagi minder dan malu bergaul dengan warga lain. Keuntungan lainnya mereka bisa mendapat honor Rp 500.000 per bulan dari penjualan batik,” kata Edy, Kamis (31/1/2019).
Sejauh ini baru 27 orang penyandang disabilitas di Resapombo yang mendapatkan pendampingan. Belum semua ikut karena tingkat disabilitas satu dengan lainnya berbeda.
Menurut Edy butuh ketekunan dan jiwa sabar untuk mendampingi mereka. Selain itu juga diperlukan teknik tersendiri. Misalnya, dalam membatik, setiap orang hanya akan belajar menangani proses. Mereka belum bisa dilibatkan untuk menangani semua tahapan dari awal sampai akhir.
Kini, selain produk batik, kepercayaan diri mereka mulai terlihat meski mereka masih harus terus dibimbing. Begitu pula dari sisi sosial, mereka sudah tidak lagi minder dan malu bergaul dengan warga lain. Keuntungan lainnya mereka bisa mendapat honor Rp 500.000 per bulan dari penjualan batik.
Keterlibatan ayah tiga orang anak mendampingi penyandang disabilitas ini berlangsung sejak tiga tahun lalu. Didasari keinginan menyatukan mereka yang berkebutuhan khusus, Edy bersama Dinas Sosial Kabupaten Blitar mendirikan RBM. Ia pun menjadi ketua RBM dengan anggota 10 orang. Anggotanya merupakan ketua dari masing-masing komunitas penyandang disabilitas.
“Saat itu kami melakukan pendataan dan pemetaan penyandang disabilitas di Blitar. Bersama pemerintah daerah, kami mengumpulkan dan merujuk mereka ke panti-panti sosial baik yang ada di Blitar maupun luar daerah. Karena tidak mencukupi, kami kemudian mereplikasi program shelter workshop dari Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) di Temanggung, Jawa Tengah,” katanya.
Upaya itu mendapat dukungan dari pemerintah derah dan BBRSPDI. Selain pelatihan, institusi tersebut rutin memberikan pendampingan secara periodik hingga saat ini.
Pada 11 Desember 2017 Resapombo dijadikan Kampung Peduli Disabilitas dan diluncurkan langsung oleh Bupati Blitar Rijanto. Lalu diikuti dengan pembentukan KSM Harapan Mulia oleh Edy dan lima orang rekan, yakni Rita Sukirni Panca Rianik, Endri Untari, Khoirun Nisak, Sri Ningsih, dan Eny Hariyanti.
Rita dan Endri merupakan warga setempat yang punya pengalaman menangani penyandang disabilitas. Sedangkan Khoirun Nisak merupakan guru sekolah luar biasa di Blitar. Mereka kemudian saling bahu-membahu melakukan pendampingan secara swadaya.
“Setelah berdiri jumlah relawan mencapai belasan orang namun mereka banyak yang mundur karena seleksi alam. Bagaimanapun juga kami bekerja sukarela, tidak digaji. Dana dari pemerintah hanya untuk pelatihan. Untuk pendampingan sehari-hari kami melakukan secara swadaya,” kata pria yang pernah bergabung dengan Taruna Siaga Bencana ini.
Awal kegiatan pendampingan dilakukan di balai desa setempat. Kegiatan di tempat itu berlangsung lima-enam bulan sebelum akhirnya menyewa salah satu rumah warga. Uang sewa rumah berasal dari hasil penjualan batik, setelah dikurangi untuk pembelian bahan baku, perlengkapan membatik, dan honor bagi anak didik.
Menurut Edy pertama kali menawarkan batik hasil karya anak berkebutuhan khusus memang tidak mudah. Untuk meyakinkan konsumen, kain batik itu ia jahit untuk pakaian sendiri. “Tujuannya untuk contoh. Setelah terlihat bagus, akhirnya kami berani mengatakan jika batik-batik tersebut merupakan anak-anak difabel dari Resapombo,” tuturnya.
Dalam perkembangannya respon pasar cukup bagus bahkan cenderung kewalahan menerima pesanan. Pemasarannya juga dibantu oleh dinas perindustrian dan perdaganganan kabupaten setempat.
Tujuannya untuk contoh. Setelah terlihat bagus, akhirnya kami berani mengatakan jika batik-batik tersebut merupakan anak-anak difabel dari Resapombo.
“Karena kewalahan, kini produksi batik dibantu oleh teman-teman penyandang disabilitas di Desa Soso, Kecamatan Gandusari. Ada 10 orang di Soso yang kini terlibat dan memeroleh pendampingan. Jadi total ada 37 penyandang disabilitas di Resapombo dan Soso yang kami dampingi,” katanya.
Edy yang memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta—memiliki warung makan—mengaku bersedia menyisihkan waktu mendampingi penyandang disabilitas karena alasan kemanusiaan. Ia dan rekan-rekannya merasa prihatin melihat mereka yang sebenarnya bisa produktif namun tidak melakukan sesuatu lantaran keterbatasan yang dimiliki.
Ke depan Edy dan kawan-kawan berharap tidak hanya penyandang disabilitas di Resapombo dan Soso yang mendapatkan pendampingan tetapi juga warga desa lainnya. Ia ingin agar kampung peduli disabilitas ada di setiap kecamatan. Di Blitar sendiri angka penyandang disabilitas mencapai sekitar 6.507 orang. (WER)
Edy Cahyono
Lahir: Blitar, 9 Agustus 1980
Istri: Yuliana
Anak:
- Muhammad Dian Faroqi
- Muhammad Azril Aizar
- Amira Cahyono Putri
Pendidikan:
- SD Siraman IV
- SMPN 1 Kesamben
- SMK Pemuda 1 Kesamben
- Universitas Darul Ulum Jombang