Konstruksi layang semakin banyak diterapkan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Konstruksi ini dipilih dengan pertimbangan lokasi pembangunan dengan lahan terbatas dan topografi lahan yang naik-turun.
Pemerintah pernah memberlakukan moratorium untuk segala proyek infrastruktur dengan konstruksi layang akibat kecelakaan konstruksi beruntun.
Hal ini tidak main-main. Sebab, kecelakaan terjadi di proyek-proyek besar dengan penyedia jasa konstruksi berkualifikasi tinggi. Moratorium itu memberi sinyal ada hal yang mendesak diperbaiki secara sistematis dan menyeluruh dalam dunia konstruksi. Apalagi, negara sedang giat membangun berbagai proyek di di penjuru Tanah Air.
Undang-Undang Nomor 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, pasal 59 menyebutkan, setiap penyelenggara jasa konstruksi, pengguna jasa, dan penyedia jasa wajib memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.
Jajaran direksi dan manajemen penyedia jasa konstruksi diharuskan memiliki sertifikasi ahli kesehatan dan keselamatan kerja (K3) untuk memastikan pelaksanaan komponen K3. Pemerintah juga meminta ada direktur K3 pada penyedia jasa konstruksi di BUMN.
Namun, hal itu dinilai belum cukup. Dengan kebutuhan infrastruktur yang masih besar di Indonesia, dibutuhkan tenaga kerja berkualitas sesuai keahlian atau keterampilan. Dengan kata lain, konstruksi layang akan semakin banyak dibangun dengan kerumitan yang memerlukan tenaga kerja sesuai syarat tertentu di bidangnya.
Hal itu sesuai UU Jasa Konstruksi pasal 70 yang mengamanatkan setiap tenaga kerja konstruksi di bidang jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja. Setiap pengguna jasa maupun penyedia jasa wajib mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat. Sertifikat kompetensi kerja dapat menjadi bukti seorang pekerja berkompeten di bidangnya, termasuk salah satunya dalam bidang K3.
Persoalannya, belum semua tenaga kerja konstruksi bersertifikat. Dari sekitar 8,3 juta pekerja konstruksi di Indonesia, hanya 616.000 orang atau sekitar 7,4 persen di antaranya yang bersertifikat. Sertifikat itu terdiri dari sertifikat tenaga kerja tingkat terampil dan tingkat ahli.
Sementara, dari jumlah itu, porsi sertifikat tenaga ahli baru 27 persen. Padahal, satu orang tenaga kerja konstruksi dapat memiliki lebih dari satu sertifikat, misalnya keahlian jalan dan manajemen proyek.
Dengan kondisi seperti ini, bisa dikatakan sumber daya tenaga kerja konstruksi di Indonesia yang bersertifikat memang masih kurang. Idealnya, seluruh tenaga kerja konstruksi juga memiliki sertifikat kompetensi sesuai keahlian atau keterampilannya. Untuk mencapai hal ini perlu proses dan waktu. Sebab, selama ini kebutuhan sertifikasi belum terbentuk. Tenaga kerja yang ingin melakukan sertifikasi tidak mengetahui proses itu dengan baik.
Pemerintah berupaya mempercepat sertifikasi kompetensi kerja. Sebab, ditengarai, banyak tenaga kerja yang sebenarnya terampil di bidangnya, namun belum sempat tersertifikasi. Langkah itu dilakukan melalui, antara lain, proses sertifikasi di lapangan atau lokasi proyek.
Sertifikasi memang bukan segalanya. Namun, melalui sertifikasi, tenaga kerja konstruksi Indonesia diarahkan semakin profesional. Hal mendasar lain adalah memastikan setiap tenaga kerja konstruksi untuk disiplin dalam menjalankan standar operasi kerja di lapangan. (Norbertus Arya Dwiangga)