Kerawanan Tinggi DBD di Kawasan Cekungan Bandung
Kawasan cekungan Bandung di Jawa Barat, dengan posisi paling rendah, saat musim hujan menjadi tempat kerawanan tinggi merebaknya sarang atau populasi nyamuk Aedes aegypti yang menularkan virus dengue.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190129semb_1548763543.jpg){kind=logo}
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Rita Verita (kanan) memberikan pemaparan dalam acara sosialisasi tentang penyakit demam berdarah dengue (DBD) di hadapan 350 kepala SD dan SMP negeri di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/1/2019). Pihak sekolah diminta waspada karena dari kejadian 2.826 kasus DBD tahun 2018 di Bandung, 40,48 persen penderita atau lebih kurang 1.144 orang berusia 5-14 tahun atau anak sekolah.
BANDUNG, KOMPAS — Kawasan Cekungan Bandung di Jawa Barat, dengan posisi paling rendah, saat musim hujan menjadi tempat kerawanan tinggi merebaknya sarang atau populasi nyamuk Aedes aegypti yang menularkan virus dengue.
Kawasan Cekungan Bandung meliputi wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kota Cimahi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Barat pada Januari-20 Februari 2019, kasus kejadian demam berdarah dengue (DBD) mencapai 4.177 kasus, dengan jumlah kematian 18 orang.
Dari jumlah tersebut, 1.763 kasus (42 persen) terjadi di kawasan Cekungan Bandung. Rinciannya, Kota Bandung sebanyak 558 kasus, Kabupaten Bandung 360 kasus, Kabupaten Sumedang 355 kasus, Kabupaten Bandung Barat 290 kasus, dan Kota Cimahi 200 kasus DBD. Jika dicermati pula, dalam kawasan Cekungan Bandung, jumlah kasus DBD di Kota Bandung paling tinggi.
Sementara itu, pada tahun 2017, dari total 11.422 kasus di Jabar dengan jumlah kematian 56 kasus, kasus DBD di Bandung pun tertinggi, yakni mencapai 1.786 kasus (15,6 persen) dan korban meninggal 6 orang.
Begitu pula pada tahun lalu (2018), dari total 11.107 kasus di Jabar, dengan jumlah kematian sebanyak 55 kasus, kejadian DBD di Bandung mencapai 2.826 kasus (25,4 persen), dengan jumlah kematian 7 orang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bandung Rosye Arosdiani Apip di Bandung, Rabu (20/2/2019), mengatakan, mengacu pada hasil surveilans Dinas Kesehatan Jabar, faktor geografis Kota Bandung yang berada pada kawasan cekungan, juga posisinya di tengah-tengah, saat musim hujan, apalagi sesekali hujan lalu panas, berpotensi berkembang populasi nyamuk.
”Bandung merupakan daerah endemis DBD. Dalam cuaca seperti itu berpotensi banyak air tertampung atau tergenang alias tidak mengalir sehingga dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti,” kata Rosye.
Ia juga menyinggung, relatif tingginya mobilitas penduduk di Bandung berpotensi pula pada tingginya penyebaran virus dengue.
Mengacu pada hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), dari virus yang diteliti di kawasan Bandung, ditemukan jenis virus yang banyak ditemukan di Bali dan Jepang.
”Ini menunjukkan potensi penyebaran DBD sehubungan dengan mobilitas penduduk. Ada orang yang sakit, tetapi kemudian digigit nyamuk di Bandung, dan nyamuk ini lalu menggigit dan menularkan kepada yang lain,” ujarnya.
Sosialisasi di sekolah
Rosye menambahkan, dalam upaya menekan peningkatan kasus DBD, pihaknya gencar melakukan sosialisasi. Salah satu yang menjadi perhatian adalah kalangan sekolah.
Pihak Dinas Kesehatan Kota Bandung pun melakukan sosialisasi kepada 350 kepala SD dan SMP negeri di Bandung pada tanggal 29 Januari 2019.
Semua sekolah diminta untuk memiliki juru pemantau jentik (jumantik) guna memperkuat kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190122_ANTISIPASI-DBD_C_web_1548160461.jpg){kind=logo}
Sejumlah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kota Bandung, Jawa Barat, bersih-bersih lingkungan kelas, Selasa (22/1/2019). Kegiatan seperti itu biasa dilakukan sebelum memulai pelajaran. Pihak sekolah menekankan, selain untuk memberikan kenyamanan siswa dalam belajar, kegiatan tersebut juga untuk menunjang pengendalian DBD yang kini kasusnya meningkat. Sampah seperti gelas plastik dan botol air mineral dikumpulkan di tong sampah agar tidak menampung air hujan dan berpotensi menjadi sarang nyamuk.
Lingkungan sekolah dinilai rawan penularan atau penyebaran virus dengue. Pasalnya, berdasarkan data kejadian DBD di Bandung tahun 2018, dari jumlah 2.826 kasus, penderita dari kalangan usia 5-14 tahun mencapai 40,48 persen atau lebih kurang 1.144 orang. Kalangan tersebut merupakan usia siswa di lingkungan SD atau SMP.
Sosialisasi juga dilakukan pada guru TK dan pendidikan anak usia dini (PAUD), tanggal 20 Februari, dan selanjutnya diagendakan sosialisasi pada guru madrasah aliyah (MA).
Selain di kalangan sekolah, sosialisasi bekerja sama dengan Forum Bandung Sehat (FBS) juga dilakukan ke 30 kecamatan. Kegiatan PSN bersama FBS juga menggandeng Fakultas Kedokteran Unpad.
Menekan CFR
Rosye mengatakan, pihak Dinas Kesehatan Kota Bandung dalam upaya menekan kasus kematian menerapkan tata laksana fasilitas kesehatan secara dini, di antaranya cepat dalam memberikan diagnosis dan tindakan. Upaya ini dapat menekan angka kefatalan kasus (case fatality rate/CFR) DBD yang relatif rendah, yakni di bawah 1 persen.
CFR merupakan perbandingan jumlah kematian terhadap penyakit tertentu yang terjadi dalam satu tahun dengan jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama.
Sebagai contoh, pada tahun 2018 terdapat 2.826 kasus DBD dengan jumlah kematian 7 orang. Dengan demikian, CFR sebesar 0,25 persen atau di bawah 1 persen.
Fasilitas kesehatan, mulai dari puskesmas, diarahkan menerapkan tata laksana secara dini. Jika datang dengan gejala demam tinggi, pasien perlu dipantau terus pada hari ketiga. Apabila kembali demam, dan terdapat indikasi lain, seperti nyeri ulu hati, pasien supaya menjalani pemeriksaan laboratorium.
”Kepada masyarakat juga disosialisasikan untuk dapat mengenali gejala DBD dan penderita cepat dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Jangan sampai menunggu kondisi sakit parah,” ucapnya.
Kepala SD Negeri 062 Ciujung, Kota Bandung, Lastriyah mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan jumantik cilik atau anak sekolah dari lingkungan kelas IV dan V. Mereka dinilai memungkinkan menjadi jumantik karena lebih matang. Siswa kelas VI tidak dilibatkan karena fokus menghadapi ujian akhir. ”Pelatihan jumantik diberikan oleh pihak Puskesmas Salam,” ujar Lastriyah.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Jabar Widyawati menuturkan, kasus DBD banyak terjadi di daerah perkotaan atau metropolitan, yang memiliki karakteristik jumlah penduduk besar, mobilitas tinggi, serta banyak permukiman padat.
”Sebagai contoh Kota Bandung. Kondisi demikian rawan penyebaran DBD, apalagi pada lingkungan dengan tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat yang rendah terhadap PSN,” katanya.
3M plus
Widyawati menekankan pentingnya PSN melalui kegiatan 3M plus dan gerakan satu rumah satu jumantik. Adapun kegiatan PSN 3M plus adalah menguras tempat-tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air, serta memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menampung air.
Plus pada 3M plus merupakan segala bentuk kegiatan pencegahan dari gigitan nyamuk, di antaranya menaburkan atau meneteskan larvasida pada tempat penampungan yang sulit dibersihkan, menggunakan obat nyamuk atau losion antinyamuk, serta menggunakan kelambu saat tidur.
Menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Jabar Uus Sukmara, sejak kasus cenderung meningkat dari Desember 2018 sampai Januari 2019, upaya PSN diintensifkan. ”Diharapkan dengan gencarnya PSN ini, kasus di Februari dan bulan berikutnya berpotensi menurun,” kata Uus.
Dibawa ke IGD
Kepala Divisi Infeksi Kelompok Staf Medis Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Djatnika Setiabudi mengimbau masyarakat, apabila melihat kondisi pasien memasuki fase kritis, pasien sebaiknya segera dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit.
”Jika kondisi pasien mengalami demam, kemudian badan lemas disertai nyeri perut, kepala pusing, mual-mual, bahkan muntah, apalagi dengan pendarahan, di antaranya mimisan, sebaiknya pihak keluarga segera membawa ke IGD, jangan ke dokter praktik karena dikhawatirkan kalau harus antre lama di dokter akan terlambat ditangani,” kata Djatnika.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190125semd_1548414756-1.jpg){kind=logo}
Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Nina Susana Dewi (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait penanganan DBD di Bandung, Jumat (25/1/2019). Ia didampingi Kepala Divisi Infeksi Kelompok Staf Medis Anak RSHS Djatnika Setiabudi (tengah).
Djatnika menuturkan, masa inkubasi virus DBD dari pasien digigit nyamuk sampai mengalami demam biasanya 4-7 hari. Umumnya penderita mendadak demam tinggi selama beberapa waktu.
Berikutnya, penderita akan memasuki fase ke-2 atau kritis yang dapat menyebabkan kematian. Biasanya suhu tubuh menurun dan badan lemas, dan yang berbahaya, kalau terjadi pendarahan hebat.
”Nah, kondisi ketika suhu badan menurun itu, masyarakat sering kali terkecoh, dikira penderita sudah sembuh dari demamnya. Padahal, kalau ini DBD, malah itu memasuki fase kritis,” ucapnya.
Dalam memudahkan mengenali gejala DBD itu, ujar Djatnika, apabila suhu badan menurun, perlu dicermati apakah setelah itu misalkan si anak ceria, mau minum, dan ada nafsu makan. Jika ini yang terjadi, dimungkinkan memang penderita sudah sembuh dari demamnya.
”Namun, apabila suhu badan penderita turun, tetapi disertai kondisi fisik sangat lemas, lalu nyeri pada perut, mual-mual, muntah, patut dicurigai itu gejala DBD, dan sebaiknya langsung dibawa ke IGD,” katanya.
