Bupati Karolin Melibatkan Masyarakat Adat Kabupaten Landak
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Masyarakat adat perlu dilibatkan dalam setiap proses pembangunan desa. Tertampungnya aspirasi mereka membuat pembangunan yang dikerjakan menjadi lebih tepat sasaran. Selain itu, gesekan antara masyarakat adat dan pemerintah juga dapat dicegah karena sudah ada kesepahaman oleh kedua belah pihak.
Hal itu disampaikan oleh Bupati Landak Karolin, Provinsi Kalimantan Barat, Margret Natasa, dalam kuliah umum, di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, di Kota Yogyakarta, Kamis (21/2/2019).
“Mau tidak mau, suka tidak suka. Melibatkan masyarakat adat adalah cara paling efektif untuk mengambil aspirasi dari masyarakat. Sebab, pembangunan ini juga untuk masyarakat semua,” kata Karolin.
Karolin menjelaskan, pengaruh pengurus adat terhadap masyarakat di daerah yang dipimpinnya itu masih sangat kuat. Masyarakatnya seolah lebih memercayai para pengurus adat daripada pemerintah daerahnya sendiri. Kondisi itu membuat pemerintah daerah harus menggandeng pengurus adat pada setiap perencanaan pembangunan.
“Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum adat lebih tinggi. Jadi, mau tidak mau harus melibatkan pengurus adat,” kata Karolin.
Karolin menilai, masyarakat adat sebenarnya dapat dioptimalkan sebagai pengawas pembangunan. Caranya dengan melibatkan mereka dalam perencanaan pembangunan. Mereka yang selama ini seolah tidak dipandang keberadaannya akan ikut merawat apa yang telah dibangun karena ada rasa memiliki apa yang dibangun oleh pemerintah.
“Keterlibatan itu membuat mereka akan mendukung dan bertanggung jawab terhadap pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga tindak lanjut rangkaian kegiatan pembangunan. Baik secara fisik maupun non fisik,” kata Karolin.
Karolin menambahkan, kunci keberhasilan untuk mengajak masyarakat adat maju bersama ada pada kemauan pemerintahnya mendengarkan masukan. Masyarakat adat perlu diperhatikan dan diakomodasi saran-sarannya. Mereka butuh diakui keberadaannya sebagai bagian dari warga negara.
“Tidak ada kunci khusus. Kemauan pemerintah untuk mau mendengarkan yang diperlukan. Memang, kompleksitas masalahnya itu besar. Tetapi, semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik lewat mekanisme musyawarah. Itu bisa diterima semua,” kata Karolin.
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko Yunanto menyampaikan, desa dan masyarakat adat tidak bisa dipisahkan. Pembangunan desa pun memang sudah seharusnya mengakomodasi kepentingan mereka. Memajukan desa bukan berarti menghabisi masyarakat adat.
“Desa dan masyarakat adat ini dua hal yang tak terpisahkan. Desa maju bukan berarti kita menghabisi adatnya. Lalu, menjadi modern bukan berarti kita harus meninggalkan desa. Memajukan desa itu hendaknya dalam konteks merawat tradisi tanpa ketinggalan zaman,” kata Sutoro.
Sutoro menyampaikan, dalam konteks pembangunan infrastruktur, jangan sampai hanya bisa bermanfaat bagi segelintir orang saja. Infrastruktur tidak didirikan sebatas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Tetapi, membuat masyarakat bisa terhubung dengan daerah-daerah lain. Pada kasus masyarakat adat, kerap kali mereka tinggal di tempat-tempat yang cukup terisolasi.
“Infrastruktur bukan sekadar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi saja. Itu juga digunakan untuk mempersatukan masyarakat Indonesia dengan terbukanya konektivitas. Dengan demikian, infrastruktur ini ada untuk menyatukan kepentingan seluruh masyarakat,” kata Sutoro.
Masyarakatnya seolah lebih memercayai para pengurus adat daripada pemerintah daerahnya sendiri. Kondisi itu membuat pemerintah daerah harus menggandeng pengurus adat pada setiap perencanaan pembangunan.