JAKARTA, KOMPAS — Mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, bersikeras bahwa dirinya bukan pelaku utama dalam perkara korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1. Ia mengatakan keterlibatannya dalam proyek itu hanya menjalankan amanah sebagai petugas partai.
Eni mengungkapkan hal itu dalam sidang lanjutan pembacaan nota pembelaan (pleidoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (19/2/2019). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yanto.
”Menyampaikan permohonan kepada majelis hakim yang mulia agar kami diberikan hukuman yang seringan-ringannya,” kata Eni.
Eni membantah keterlibatannya dalam proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1 sebagai pelaku utama sebagaimana disebutkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tuntutannya. Menurut dia, keterlibatannya dalam proyek PLTU Riau-1 ketika itu karena mendapat penugasan dari pemimpin partai, yaitu Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
”Uang yang saya terima pun dipergunakan untuk kepentingan partai dan membantu masyarakat tidak mampu. Kepentingan partai baik terkait Munaslub Partai Golkar ataupun terkait Pilkada Partai Golkar,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam sidang pembacaan tuntutan, Eni dinilai jaksa KPK merupakan pelaku utama dalam kasus suap proyek independent power producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau-1.
Ia juga dinilai jaksa terbukti menerima uang secara bertahap sebesar Rp 4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources, Johanes Budisutrisno Kotjo. Uang tersebut diduga untuk menggerakkan Eni agar Kotjo bisa memperoleh proyek IPP PLTU Mulut Tambang Riau-1.
Selain itu, Eni juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas.
Atas perbuatannya, Eni dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan. Eni juga dituntut membayar uang pengganti Rp 10,35 miliar dan 40.000 dollar Singapura, serta dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun.
Memohon kerja sama
Dalam sidang itu, Eni kembali mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan atau justice collaborator (JC). Seperti diketahui, pada September 2018, Eni juga telah mengajukan permohonan untuk menjadi JC. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan KPK.
Ketika itu, jaksa KPK menjelaskan alasan penolakan dalam sidang tuntutan, yakni salah satu syarat untuk menjadi JC tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (Kompas, 7/2/2019). Pada poin 9, bukan merupakan pelaku utama menjadi syarat lain yang mesti dipenuhi.
Menanggapi nota pembelaan Eni, Jaksa KPK Ronald F Worotikan menyampaikan, pihaknya tetap pada materi tuntutan. Hakim Yanto pun memutuskan akan melanjutkan sidang dengan agenda pembacaan putusan pada 1 Maret 2019. (MELATI MEWANGI)