Kontribusi Perbankan terhadap Pertumbuhan PDB Masih Rendah
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsolidasi perbankan semakin mendesak untuk dilakukan. Meskipun kredit perbankan tumbuh sebesar 12,88 persen pada 2018, kontribusi perbankan terhadap pertumbuhan produk domestik bruto turun menjadi 2,53 persen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, industri perbankan berhasil menyalurkan kredit hingga dua digit, yaitu 12,88 persen di tengah gejolak perekonomian pada 2018. Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh hanya 6,45 persen atau Rp 5.630 triliun.
Adapun menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi jasa keuangan dan asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,15 persen pada 2018. Persentase ini turun dibandingkan dengan pencapaian 4,2 persen pada 2017.
Kontribusi sektor keuangan yang belum signifikan terhadap PDB mengindikasikan peran sektor keuangan masih dangkal bagi perekonomian bangsa.
Kategori jasa keuangan dan asuransi dibagi menjadi dua, salah satunya adalah jasa perantara keuangan yang bertugas menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. BPS mencatat, kontribusi jasa perantara keuangan turun 2,53 persen pada 2018 dari 2,6 persen pada 2017.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/2/2019), mengatakan, kontribusi sektor keuangan yang belum signifikan terhadap PDB mengindikasikan peran sektor keuangan masih dangkal bagi perekonomian bangsa.
”Artinya, kredit yang disalurkan belum banyak dan kebutuhan pembiayaan masih rendah. Idealnya, kontribusi sektor keuangan terhadap PDB mencapai 100 persen sebab semakin besar kapasitas ekonomi suatu negara, semakin besar peran sektor keuangan,” tutur Abdul.
Ia melanjutkan, secara umum, kondisi industri perbankan Indonesia sangat sehat. Namun, Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I dan II paling rentan dengan gejolak perekonomian karena keterbatasan modal dan kemampuan menghimpun dana nasabah.
Bank berkategori BUKU I memiliki modal kurang dari Rp 1 triliun, BUKU II bermodal Rp 1 triliun-Rp 5 triliun, BUKU III memiliki modal Rp 5 triliun-Rp 30 triliun, serta BUKU IV bermodal lebih dari Rp 30 triliun.
Abdul menyampaikan, konsolidasi perlu dilakukan untuk meningkatkan modal dan ketahanan bisnis perusahaan. Selain itu, konsolidasi dapat membantu bank melakukan ekspansi bisnis sebelum memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di sektor keuangan pada 2020.
Berdasarkan data OJK pada November 2018, sebanyak 115 bank beroperasi di Indonesia, terdiri dari 101 bank konvensional dan 14 bank syariah. Berdasarkan BUKU, ada 18 bank BUKU I, 51 bank BUKU II, 27 bank BUKU III, dan 5 bank BUKU IV.
Konsolidasi
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Taswin Zakaria menambahkan, jumlah bank BUKU I dan II terlalu banyak untuk menciptakan persaingan yang sehat. Konsolidasi bank akan berdampak positif bagi pertumbuhan industri perbankan.
”Tetapi, diperlukan permodalan yang mapan agar konsolidasi bisa berjalan baik. Perbankan dalam negeri yang dimiliki nasional ataupun multinasional seharusnya cukup siap untuk mendukung konsolidasi,” ujarnya.
Menurut dia, pihak otoritas dapat membantu percepatan proses konsolidasi melalui pemberian insentif. Misalnya, pemberian insentif pajak untuk revaluasi aset, melonggarkan ketentuan rasio kecukupan modal (CAR), serta kemudahan merelokasi kantor cabang.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, OJK sedang mengkaji ulang Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia guna mendorong konsolidasi (Kompas, 23/1/2019).
Secara alami
Abdul melanjutkan, pihak otoritas dapat mendorong proses konsolidasi dengan menambah target dalam aturan terkait dengan perbankan. Salah satunya adalah menargetkan bank untuk memiliki modal minimal Rp 50 triliun pada 2030.
”Ini akan membuat bank-bank kecil terpaksa melakukan konsolidasi secara alami. Jika tidak didorong secara halus, bank yang sehat pasti tidak akan mau melakukan merger,” ucapnya.