Musim Trek, Petani Sawit di Sumut Tak Nikmati Kenaikan Harga
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
STABAT, KOMPAS — Harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, naik menjadi Rp 1.050 per kilogram setelah anjlok hingga Rp 700. Namun, petani tidak menikmatinya karena kenaikan harga terjadi saat musim trek buah, produksi tanaman turun hingga 50 persen. Selain itu, rantai distribusi yang panjang membuat kenaikan harga di tingkat petani berjalan lamban.
Zulham (40), petani sawit di Desa Kuala Air Hitam, Kecamatan Selesai, Langkat, Kamis (14/2/2019), mengatakan, harga tandan buah segar (TBS) sawit setiap minggu naik sekitar Rp 50 per kilogram sejak Januari 2019. Menurut dia, kenaikan harga didorong penurunan pasokan sawit karena musim trek, yakni penurunan produksi setelah memasuki musim kemarau.
Kenaikan harga didorong penurunan pasokan sawit karena musim trek.
”Meskipun harga sawit sudah mulai naik, kami belum bisa menikmati karena produksi sawit menurun drastis,” kata Zulham.
Ia menuturkan, sejak Januari, produksi kebun sawitnya terus menurun. Kini, ia hanya bisa memanen 500 kilogram TBS sawit per dua minggu dari kebun seluas lebih kurang 0,5 hektar. Dengan harga Rp 1.050 per kilogram, Zulham mendapat hasil Rp 525.000 per dua minggu. Hasil itu juga masih harus dipotong untuk membayar upah panen sawit sebesar Rp 200 per kilogram atau sekitar Rp 100.000.
Kalau tidak sedang musim panen raya, biasanya ia bisa memanen 1 ton per hektar per dua minggu. Saat harga anjlok hingga Rp 700 per kilogram, ia masih mendapat sekitar Rp 700.000 per bulan. ”Kami, petani rakyat ini, memang tak pernah diuntungkan. Kalau produksi lagi bagus, harga turun,” ujar Zulham.
Suratman (35), petani sawit di Desa Kuala Air Hitam, mengalami hal yang sama. Produksi kebun sawitnya pun menurun hingga 50 persen selama musim trek ini. Menurut dia, musim trek ini bisa berlangsung hingga Agustus.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Timbas Prasad Ginting mengatakan, musim trek menjadi masalah yang dihadapi petani setiap tahun. ”Kenaikan harga di tingkat petani sebenarnya dipicu menurunnya pasokan TBS sawit akibat musim trek,” ujarnya.
Rantai panjang
Menurut Timbas, permasalahan rendahnya harga TBS sawit di tingkat petani menjadi persoalan yang terus berulang setiap tahun. Saat produksi membaik, harga TBS turun. Harga TBS naik saat produksi kebun petani rakyat menurun.
Timbas menyebutkan, kenaikan harga TBS di tingkat petani sangat lambat. Hal itu terjadi antara lain karena panjangnya rantai distribusi dari petani hingga pabrik minyak sawit. ”Selisih harga TBS di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan pabrik pun masih cukup besar,” katanya.
Selisih harga TBS di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan pabrik pun masih cukup besar.
Timbas menjelaskan, saat ini di Sumut harga TBS yang dibayarkan pabrik minyak sawit kepada agen pengepul sudah mencapai Rp 1.541 per kilogram, sementara di tingkat petani sekitar Rp 1.050 per kilogram. Di kebun yang cukup jauh dari pabrik, bahkan ada yang masih Rp 900 per kilogram.
”Selisih harga di tingkat petani dengan yang dibayarkan pabrik Rp 500-Rp 600 per kilogram. Seharusnya ini bisa dinikmati petani,” ujarnya.
Untuk memotong rantai penjualan yang cukup panjang, lanjut Timbas, petani sawit seharusnya bisa berkelompok agar bisa menjual TBS langsung ke pabrik. Kelompok tani sudah bisa menjual langsung TBS ke pabrik minyak sawit jika mempunyai lahan 500 hektar.