JAKARTA, KOMPAS – Mengantisipasi dampak perubahan iklim yang kompleks dan masif karena peningkatan suhu bumi yang menerus, dibutuhkan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Sebab, dampak perubahan iklim bersifat jangka panjang, tidak dirasakan langsung seketika. Pembuat kebijakan selama ini melihat dampak perubahan iklim dengan sudut pandang jangka pendek.
“Program pembangunan harus berjalan satu siklus karena isu perubahan iklim tidak selesai dalam satu siklus. Saya kira anggota DPRD harus diberi pengetahuan tersebut. Selama ini banyak program yang putus akibat perubahan pemerintah daerah. Akibatnya, semua upaya yang dilakukan tidak mencukupi karena dalam waktu tidak terlalu lama bisa menjadi lebih berat lagi dampaknya,” ujar Rizaldi Boer dari Pusat Manajemen Risiko dan Peluang Iklim (CCROM-Center for Climate Risk and Opportunity Management) di Bogor, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/2/2019)
Menurut Rizaldi, perlu dibuat prioritas pembangunan karena pendanaan terbatas. Prioritas bisa ditentukan apabila telah ditetapkan indeks kerentanan dan risiko iklim. Penetapan kerentanan dan risiko perubahan iklim membutuhkan indikator kunci.
“Keputusan penetapan tentang indikator kunci ini belum ada sehingga penetapan prioritas pembangunan tidak bisa dibuat,” katanya. Berdasar indikator kunci maka bisa ditetapkan prioritas pembangunan.
Pemanasan suhu di Indonesia diketahui telah menyebabkan perubahan pola penguapan air sehingga mengubah pola hujan. Laju pemanasan ini selain dipengaruhi oleh fenomena global akibat penambahan gas rumah kaca juga dipengaruhi oleh dinamika lokal, terutama akibat hilangnya tutupan vegetasi dan pertumbuhan kawasan urban.
Kajian peneliti iklim Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto dan tim yang telah dipublikasikan di International Journal of Climatologyini menunjukkan, suhu udara di Jakarta telah bertambah hingga 1,6 derajat celcius dalam satu abad terakhir. Ini berarti peningkaan suhu di Jakarta lebih tinggi dibandingkan rata-rata suhu global yang bertambah 1-1,2 derajat celcius dalam kurun yang sama.
Selain itu juga ditemukan, adanya peningkatan suhu maksimum harian yang lebih tinggi dari pada peningkatan rata-rata dan suhu minimum selama 50 tahun terakhir. Suhu waktu malam telah meningkat pesat antara periode 1971, 1980,2001, dan 2010 dengan penambahan sekitar 2 derajat celcius.
Menurut Siswanto, peningkatan suhu ini terbukti telah mengubah pola hujan. Evolusi curah hujan harian ekstrem di Jakarta menunjukkan peningkatan, terutama untuk curah hujan lebih dari 50 mm dan 100 mm per hari. Tren ini terutama meningkat pesat untuk periode 1961–2010, seiring dengan laju peningkatan suhu yang juga melonjak pada periode ini.
"Peningkatan suhu yang pesat mulai tahun 1960-an ini kemungkinan terjadi sejak pengembangan wilayah kota dengan menghilangkan pepohonan," kata Siswanto.
Peningkatan hujan lebat hingga ekstrem ini terjadi walaupun rata-rata jumlah hujan tahunan tidak berubah. Bahkan, jumlah hari hujan sepanjang tahun cenderung menurun. "Ini menunjukkan adanya fenomena penguapan lokal sebagai pengaruh urbanisasi," kata dia.
Kontribusi nasional
Dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya mengatakan, pemerintah mulai menyiapkan kontribusi nasional kedua atas penurunan emisi gas rumah kaca. Perhitungan sementara capaian penurunan emisi di Indonesia dari target 29 persen pada 2030 mencapai 24,4 persen per tahun 2017. Kontribusi utama diberikan dari penurunan kasus dan luas kebakaran hutan dan gambut.
Panel ahli perubahan iklim antarpemerintah sejak bersidang Oktober 2018 di Korea Selatan, merekomendasikan agar dunia global menjaga kenaikan suhu bumi tak melebihi 1,5 derajat celcius. Indonesia masih menjajaki apabila bisa berkontribusi pada upaya menjaga kenaikan suhu bumi tak melebihi 1,5 derajat celcius.
Pada NDC pertama, Indonesia menjanjikan penurunan emisi pada 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan sampai 41 persen melalui kerja sama internasional. Pengurangan emisi itu dilakukan melalui lima sektor utama, yaitu sektor hutan dan lahan (17,2 persen), energi (11 persen), limbah (0,38 persen), proses industri/IPPU (0,10 persen), serta pertanian (0,32 persen).
Menurut Dosen ilmu lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa, yang juga anggota Paris Committee on Capacity Building wakil dari kawasan Asia-Pasifik, mengingatkan kompleksitas dampak dari peningkatan suhu ini amat tinggi. "Dari sisi bencana saja tahun 2018 sudah sekitar 2.000 bencana hidrometeorologi,” ujarnya. Jumlah bencana hidrometeorologi tersebut empat kali lipat dari jumlah kejadian pada tahun 2015.
Menurut dia, dampak peningkatan suhu dan perubahan iklim telah terjadi di sektor pangan karena kekeringan atau banjir, dan bisa berdampak pula pada keanekaragaman hayati, juga persoalan hama, dan sebagainya.
Oleh karena itu, tambahnya, “Dalam konteks adaptasi, paska 2020 dibutuhkan perubahan radikal.” Di sektor kehutanan misalnya, perlu perubahan radikal dalam pengelolaan ekosistem hutan.
“Perlu tindakan radikal dalam melakukan restorasi, rehabilitasi, dan perlindungan hutan. Misalnya, hutan untuk kebutuhan produksi hanya boleh di bawah 30 persen dari luas hutan dan harus dikelola dengan lestari. Sebagian besar untuk konservasi,” tegasnya. Kebijakan tentang hutan tersebut penting karena bagi Indonesia, hutan merupakan ekosistem daratan yang terluas.
Dalam konteks mitigasi, harus disadari ada fluktuasi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan pada tahun terjadinya El Nino dan tahun-tahun lainnya. “Jangan buru-buru mengatakan bahwa penurunan emisi itu adalah hasil dari upaya kita,” kata Mahawan. Dia juga menggarisbawahi proses dekomposisi gambut apabila ekosistem gambut terus dirusak. yang akan mengeluarkan banyak emisi.
Bagi negara berkembang, kenaikan 1,5 derajat celsius masih dalam batas toleransi, namun kenaikan suhu 2 derajat celsius lebih banyak negara maju yang bisa mengatasinya. Sementara dampak kenaikan di atas 2 derajat Celsius, akan berat bagi semua negara. Dalam laporan untuk pengambil kebijakan bagi kondisi kenaikan 1,5 derajat yang disusun Panel Ahli Perubahan Iklim (IPCC), diperkirakan kenaikan 1,5 derajat akan tercapai setelah tahun 2030.