Mewaspadai Gerak Patahan Raksasa Mentawai
Kejadian gempa bumi disertai tsunami di Palu dan tsunami di Banten akhir tahun lalu, membuat masyarakat di kawasan pesisir Sumatera Barat semakin bersiaga. Mereka sadar selama ini tinggal di kawasan pesisir, berdekatan dengan patahan raksasa Mentawai yang bisa sewaktu-waktu terbangun.
Setelah bencana Palu dan Banten, Aida Nursanti (51) yang biasa berjualan kelapa muda di kawasan Pantai Padang selalu pulang lebih cepat. “Jika dulu, saya pulang jam 22.00, sekarang jam 18.00. Biasanya banyak pembeli justru menjelang jam itu, tetapi saya tolak dan tegas bilang mau tutup,” kata Aida, Selasa (12/1/2019).
Sejak memutuskan pulang lebih awal, memang omsetnya menurun. Jika biasanya sehari dia bisa menjual 100 butir kelapa muda, sekarang bahkan kurang dari 50 butir. Tetapi Aida mengaku tidak terlalu mempersoalkan hal itu.
“Bagi saya, dalam kondisi siaga seperti saat ini, segera berkumpul dengan keluarga lebih penting. Jadi kalau terjadi bencana ketika saya bersama keluarga, kami bisa evakuasi bersama. Bayangkan kalau saya sendiri, susah,” kata Aida.
Seperti tempatnya berjualan, rumah Aida di Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, juga masuk zona merah. Lokasinya sekitar 1 kilometer dari bibir pantai. Dari Pantai Padang ke rumahnya dibutuhkan waktu sekitar 24 menit.
“Jadi, kalau bencananya terjadi ketika saya sedang berjualan, kami sekeluarga sepakat untuk tidak saling mencari. Karena pulang ke rumah, tidak cukup waktu. Malah bisa jadi korban. Jadi, semua harus mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi. Jika selamat, baru saling berkomunikasi,” kata Aida yang sudah berjualan di Pantai Padang sekitar 30 tahun
Ia juga sudah menyiapkan tas berisi berkas-berkas penting seperti ijazah, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, buku tabungan, termasuk kartu anjungan tunai mandiri (ATM).
“Kami juga sepakat menyimpan semua uang di bank. Sementara uang tunai yang dipegang secukupnya. Itu untuk berjaga-jaga karena pascabencana, bisa lebih mudah diambil,” kata Aida yang rumahnya turut rusak karena gempa Sumbar pada 2009 silam.
Tinggal di zona merah bencana dilakukannya namun dengan kesiapsiagaan. Pindah ke zona hijau sulit karena terkendala biaya. “Butuh biaya untuk beli tanah, membangun rumah. Darimana biayanya? Jadi, kami tetap tinggal di rumah sekarang, tetapi bersiaga,” kata Aida.
Seperti Aida, Elvinorita (33) yang tinggal di kawasan Jati, Padang Timur, juga terus bersiaga. Elvinorita yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta itu, sudah mempelajari jalur evakuasi dari kantornya. “Ada tempat evakuasi sementara di Kantor Dinas Pekerjaan Umum. Jadi kalau gempa besar dan berpotensi tsunami, saya tahu harus menyelamatkan diri ke mana,” kata Elvinorita.
Elvinorita sejak lama telah tahu soal evakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi ketika terjadi gempa dengan durasi lama. “Saya asli Pesisir Selatan. Oleh orang tua, sejak kecil diajari ketika terjadi gempa, berlari ke perbukitan yang berada di belakang rumah. Mengingat sekarang di kota, kalau tidak ke zona hijau berarti ke shelter terdekat,” kata Elvinorita yang terus memantau informasi gempa menggunakan ponsel pintarnya.
Menurut Elvinorita, pascagempa 2009, ia juga sudah menyiapkan tas siaga bencana untuk menyimpan berkas-berkas yang dibutuhkan. Tetapi sekarang, ia memilih memindahkan berkas-berkas penting ke safe deposit box (SDB). “Memang menyimpan di sana lebih ke soal keamanan. Tetapi, secara tidak langsung juga untuk antisipasi bencana,” kata Elvinorita.
Para pengusaha, termasuk pengusaha café di Padang juga turut bersiaga. Heryadi Saputra (38), pemilik Sukokopi, salah satu warung kopi di kawasan Sawahan, Padang Timur, mengatakan, ia sudah mengasuransikan kafenya untuk mengantisipasi dampak jika terjadi gempa dan tsunami. “Semua, termasuk barang-barang di dalamnya diasuransikan. Ini untuk berjaga-jaga,” kata Heryadi.
Heryadi yang juga ketua RT 02/01 di Kelurahan Sawahan mengatakan, selain tempat usahanya, warga di tempatnya juga terus mempersiapkan diri. Dalam waktu dekat, mereka akan berkumpul untuk membahas perihal mitigasi bencana. “Rencananya, kami akan membuat semacam tim SAR tingkat RT. Termasuk juga membahas tentang kesiapan-kesiapan warga seperti sosialisasi tas siaga bencana,” kata Heryadi.
Simulasi
Kesiapsiagaan masyarakat di Kota Padang terjadi karena mereka sadar tinggal tidak jauh dari zona patahan raksasa di segmen Mentawai, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Patahan itu sewaktu-waktu bisa melepas energi dan menciptakan gempa berkekuatan hingga M 8,8 diikuti tsunami besar.
Menurut ahli gempa bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Danny Hilman Natawidjaja, segmen Mentawai tercatat pernah menghasilkan gempa berkekuatan magnitudo 7,9 pada 2007 dan magnitudo 7,8 pada 2010.
Meskipun telah mengeluarkan energi, belum semua energi terlepas. Sekitar dua pertiga segmen ini belum runtuh dan potensi gempanya bisa mencapai M 8,8 jika dihitung dari energi yang tersimpan selama 222 tahun sejak gempa besar terakhir pada 1797 dikurangi dengan energi yang dilepaskan saat gempa pada 2007 dan 2010 (Kompas, 7/2/2019).
Sejak Sabtu (2/2/) lalu, aktivitas kegempaan di sekitar Mentawai juga terpantau meningkat. Hingga Rabu (6/2), tercatat ada 115 kali gempa. Dari semua gempa itu, ada dua yang bermagnitudo di atas 6 dan tiga lainnya bermagnitudo hampir 6. Guncangan gempa turut dirasakan hingga Padang.
Selain mempersiapkan diri sendiri, warga juga dilibatkan dalam kegiatan simulasi menghadapi tsunami. Pada Sabtu (9/2), Pemerintah Kota Padang melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melaksanakan simulasi yang diikuti sekitar 1000 peserta. Sebagian besar adalah pelajar, termasuk pelajar penyandang disabilitas dan warga di dua kelurahan yakni Ulak Karang Utara dan Ulak Karang Selatan, Kota Padang.
Simulasi dianggap sangat penting karena hampir tiga perempat atau sekitar 600.000 warga Padang saat ini tinggal di zona merah. Selain itu, sekitar 500 sekolah berada di zona merah.
Selain di Padang, edukasi dan simulasi juga diselenggarakan di Desa Pasakiat Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Simulasi diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, BPBD Mentawai, dan Lembaga Arbeiter Samariter Bund (ASB) Indonesia and the Philippines.
Project Officer ASB Indonesia and the Philippines Roni Pasla mengatakan, simulasi diikuti 1.476 warga dari 9 dusun di Desa Pasakiat Taileleu. Edukasi dan simulasi untuk pengurangan risiko bencana itu tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga pelajar mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas.
Menurut Roni, selain langkah-langkah keselamatan, pelajar dan warga juga diajak mengenali titik-titik aman dan jalur evakuasi yang ada di lingkungan mereka.
Selain Mentawai dan Padang, daerah lain juga menjadi perhatian karena berada di pesisir yakni Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Agam, dan Pasaman Barat. Tercatat ada ada 1 juta warga yang tinggal di kawasan pesisir di tujuh daerah tersebut.