Kampanye Programatik Dapat Meminimalisasi Dampak Politik Identitas
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Dampak politik identitas perlu tetap diwaspadai selama Pemilu 2019. Salah satu cara untuk meminimalisasi dampak buruk politik identitas adalah kampanye yang programatik menyangkut masalah yang berkaitan langsung dengan masyarakat.
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Aditya Perdana, dalam diskusi tentang “Mengelola Politik Identitas dalam Kampanye Pemilu 2019” di Pontianak, Selasa (12/2/2019), mengatakan, ada banyak pihak yang mengkhawatirkan dampak politik identitas. Di beberapa wilayah politik identitas itu muncul meskipun dengan kategori yang berbeda-beda.
“Politik identitas itu sebetulnya hal yang alamiah. Namun, menjadi masalah jika dipolitisasi. Dampak Pilkada DKI beberapa waktu lalu ada yang masih terasa di wilayah tertentu di Tanah Air,” ujarnya.
Politik identitas itu sebetulnya hal yang alamiah. Namun, menjadi masalah jika dipolitisasi. Dampak Pilkada DKI beberapa waktu lalu ada yang masih terasa di wilayah tertentu di Tanah Air
Hal yang tidak kalah pentingnya untuk menjadi perhatian adalah politik identitas yang berkembang liar di media sosial. Sementara para tim sukses kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak begitu peduli dengan itu. Bahkan, di daerah para kader partai justru lebih fokus mengurus pemilihan legislatif daripada mengontrol media sosial.
Sebetulnya, jika kampanye yang muncul lebih programatik akan bisa meninimalisasi dampak politik identitas. Kampanye programatik itu yang terkait program nyata yang dibutuhkan masyarakat di daerah.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Syarifah Ema Rahmaniah yang hadir dalam diskusi itu, menilai, politik identitas melahirkan politik kebencian. Padahal, kampanye-kampanye harusnya mencerdaskan masyarakat.
“Perbincangan di media sosial malah hal-hal yang tidak substantif dan memantik reaksi yang beragam. Siapapun yang terpilih nanti hendaknya bertanggung jawab untuk mengembalikan politik kebangsaan untuk merajut kembali relasi masyarakat,” kata Ema.
Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan Laili Khairnur, menuturkan, politik identitas adalah hal yang alamiah. Namun, menjadi masalah jika hal itu dipolitisasi menjadi kebencian. Hal yang bisa meminimalisasi dampak politik identitas adalah kampanye yang programatik. Gemawan adalah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kedaulatan politik rakyat, kemandirian ekonomi rakyat, karakter budaya lokal, kesetaraan gender dan keadilan ekologis.
Kampanye hendaknya menyentuh kepentingan masyarakat yang nyata. Sebagai contoh, di Kalbar masyarakat sudah sejak lama dilanda masalah harga komoditas perkebunan rakyat yang anjlok. Karet misalnya sudah sejak lama harganya hanya berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram. Hal itu membuat petani merana.
Kampanye hendaknya menyentuh kepentingan masyarakat yang nyata. Sebagai contoh, di Kalbar masyarakat sudah sejak lama dilanda masalah harga komoditas perkebunan rakyat yang anjlok. Karet misalnya sudah sejak lama harganya hanya berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram. Hal itu membuat petani merana.
Selain itu, isu penyelamatan hutan juga menarik. Apalagi, saat ini sedang gencar-gencarnya tentang perhutanan sosial dan hutan adat di pedalaman. Hal-hal seperti itu lebih baik untuk diangkat dalam kampanye karena menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung.
Umi Rifdiyawati dari Jaringan Demokrasi Indonesia dan juga mantan Ketua KPU Provinsi Kalbar, mengatakan, kampanye merupakan pendidikan politik bagi masyarakat. Maka, hal itu hendaknya dilakukan secara bertanggung jawab. Jaringan Demokrasi Indonesia adalah lembaga yang fokus pada isu demokrasi.
Jika ada kampanye soal SARA di media sosial, harusnya tim kampanye yang bertanggung jawab. Ke depan, diharapkan sisa kampanye sekitar dua bulan ini akan diisi kampanye yang programatik, sehingga kampanye bisa benar-benar menjadi pendidikan politik bagi masyarakat.
Pengajar Fakultas Tarbiah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak Hermansyah, mengatakan, untuk Kalbar, ada hal yang dapat meminimalisasi dampak politik identitas yang ia sebut sebagai memori kolektif. Misalnya masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu meskipun agamanya berbeda, tetapi mereka berasal dari nenek moyang yang sama.
Untuk Kalbar, ada hal yang dapat meminimalisir dampak politik identitas yang ia sebut sebagai memori kolektif. Misalnya masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu meskipun agamanya berbeda, tetapi mereka berasal dari nenek moyang yang sama.
Memori kolektif itu yang membuat dampak politik identitas tidak terlalu berakibat buruk. Buktinya, beberapa kali pilkada di Kalbar, tidak pernah terjadi konflik kekerasan di Kalbar meskipun Kalbar sempat dikategorikan daerah rawan ketiga pada pilkada tahun lalu.