JAKARTA, KOMPAS -- Perum Bulog berencana mengekspor beras hasil pengadaannya. Hal ini menandakan lemahnya tata kelola pengadaan cadangan beras pemerintah atau CBP akibat tidak didukung data yang valid.
Dalam kunjungannya ke gudang Bulog di Palembang, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan, pihaknya berencana mengekspor beras premium untuk meminimalisasi penumpukan di gudang serta meningkatkan keuntungan perusahaan. Rencana ini dapat terealisasi jika ada surplus dari daerah-daerah yang dapat panen 2 - 3 kali setahun. (Kompas, 9/2/2019).
Menanggapi hal ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, rencana ekspor beras tersebut mencerminkan pengelolaan pengadaan beras Bulog masih belum tertata dengan baik. "Lemahnya tata kelola pengadaan Bulog ini merupakan dampak dari data beras yang tidak valid sebelum publikasi dari Badan Pusat Statistik," tuturnya saat dihubungi, Senin (11/2/2019).
Kelemahan itu ditunjukkan oleh adanya potensi penumpukan di gudang Bulog. Saat ini, kapasitas gudang Bulog nasional berkisar 3 juta ton. Sementara itu, stok awal 2019 yang berasal dari stok pengadaan beras Bulog selama 2018 sebanyak 2,1 juta ton.
Padahal, Bulog menargetkan menyerap 1,8 juta ton setara beras dari dalam negeri pada 2019. Artinya, ada potensi kelebihan penyimpanan lebih dari 500.000 ton.
Lemahnya tata kelola pengadaan Bulog merupakan dampak dari data beras yang tidak valid
Menurut Rusli, jika keputusan pengadaan beras Perum Bulog berbasis data pangan yang valid, kelebihan stok itu akan sesuai dengan kapasitas gudang. "Jika ditilik secara ekonomi, ekspor beras Bulog ini tak masalah karena meminimalisasi beras yang mubazir dan menguntungkan Bulog secara bisnis. Namun, secara kebijakan tata kelola pengadaan beras, rencana ini disangsikan," katanya.
Oleh sebab itu, Rusli mengatakan, keputusan pengadaan beras, baik dari dalam maupun luar negeri, harus berdasarkan data yang valid. Data itu pun mesti menggambarkan realita yang ada di lapangan.
Selain pengadaan, Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih menyoroti tata kelola stok yang ada di gudang Bulog. Dia berpendapat, seharusnya Bulog menggolongkan stok yang ada di gudangnya berdasarkan kualitasnya. Ada beras yang laik diekspor, laik konsumsi dalam negeri, tak laik konsumsi, dan dapat diproses atau diolah kembali menjadi produk lain.
Terkait rencana ekspor beras, Ahmad mengatakan, Bulog perlu memastikan agar kualitas beras yang tidak diekspor tidak lebih buruk dari yang diekspor. "Beras yang tidak diekspor itu untuk operasi pasar. Jika kualitasnya buruk, operasi pasar terancam gagal," ujarnya.
Apalagi, Ahmad memprediksi, kebutuhan beras untuk operasi pasar akan meningkat pada 2019. Prediksi itu berdasarkan rencana pemerintah meningkatkan proporsi bantuan pangan nontunai (BPNT) dari 55 persen pada 2018 menjadi 80 persen keluarga penerima manfaat (KPM).
Meskipun rencana ini sudah disebutkan Perum Bulog di publik, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum diajak membahas ekspor beras tersebut. "Kami belum mendapatkan informasi terkait (rencana ekspor) ini," ucap Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro.
Wahyu memaparkan, secara umum, aktivitas BUMN (termasuk Bulog) sepanjang tahun sudah ditetapkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan. Hal ini mesti dibahas dan mendapatkan persetujuan dari pemegang saham.
Apabila ada tambahan rencana perusahaan di tengah tahun anggaran, menurut Wahyu, tambahan itu harus dibahas dan juga diperlukan persetujuan. Hal ini berlaku juga untuk rencana ekspor beras oleh Perum Bulog.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, belum ada pembahasan terkait rencana ekspor beras dari Perum Bulog. Jika hendak merealisasikan ekspor tersebut, ada hal administratif yang mesti Perum Bulog urus di Kementerian Perdagangan.