BEKASI, KOMPAS – Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sumur Batu, Kota Bekasi, terkendala pengurusan administrasi. Studi kelayakan dan surat rekomendasi Pemerintah Kota untuk jual beli listrik hasil pengolahan belum ada. Pengembang pembangkit listrik mempercepat proses administrasi untuk mengejar waktu operasional.
Presiden Direktur PT Nusa Wijaya Abadi (NWA) Tenno Sujarwanto di Bekasi Senin (11/2/2019), mengatakan, studi kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang dikembangkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu, Bantargebang, Kota Bekasi, masih dalam proses pengerjaan. Pihaknya menggunakan jasa konsultan energi lokal untuk menilai kelayakan pembangkit listrik.
Menurut dia, studi kelayakan semestinya diprakarsai oleh Pemerintah Kota bersama pengembang. Namun, pihaknya mengupayakan hal tersebut secara mandiri untuk membantu pemerintah mempercepat proses administrasi.
Tenno menjelaskan, studi kelayakan itu menilai pengolahan sampah dan energi listrik yang dihasilkan. Pembangkit listrik yang sudah ada saat ini mampu menghasilkan listrik sebesar 1,5 megawatt. Adapun bahan bakar berupa sampah sisa atau refuse derived fuel (RDF) yang digunakan mencapai 3,03 ton per jam. Keduanya merupakan hasil uji coba selama 24 jam berdasarkan permintaan Pemerintah Kota Bekasi pada pekan lalu.
Selain itu, studi kelayakan yang dilakukan konsultan juga menilai perencanaan jaringan dan distribusi listrik. Menurut Tenno, pihaknya akan membangun infrastruktur untuk menjamin jaringan dan distribusi listrik setelah ada kesepakatan pembelian listrik atau power purchase agreement (PPA) dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Saat ini, di lingkungan PLTSa belum ada infrastruktur terkait.
“Kami menargetkan, hasil studi itu selesai pada Februari 2019,” ujar Tenno. Oleh karena itu, ia berharap PPA bisa diraih pada Maret 2019 dan PLTSa diresmikan sebulan setelahnya.
Ia menambahkan, kontrak proyek pembagunan PLTSa dengan Kota Bekasi telah ditandatangani sejak 2016. Pembangkit listrik juga sudah siap sejak Agustus 2017. Sejak saat itu, pembangkit listrik dioperasionalkan setiap pekan hanya untuk memastikan sistem berjalan. Listrik yang diproduksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan intern pembangkit listrik.
“Walaupun belum ada PPA, kami ingin membuktikan bahwa PLTSa itu bisa berhasil. Kami ingin memulainya di Kota Bekasi,” ujar Tenno. Sebab, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, terdapat 11 kota dan satu provinsi yang mendapatkan mandat untuk mengembangkan PLTSa.
Selain Kota Bekasi, PLTSa akan dikembangkan di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kota Surabaya. Selain itu, ada pula Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado. Seluruh kota dan provinsi memprioritaskan penerbitan PPA sebelum operasional pembangkit listrik, tetapi Kota Bekasi ingin mencoba sebaliknya.
“Untuk pembuktian itu, kami sudah mengeluarkan biaya hampir Rp 200 miliar sejak 2016,” ujar Tenno. Seluruh dana diambil dari kocek perusahaan, tanpa melibatkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bekasi.
Berdasarkan Perpres No 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, hasil studi kelayakan merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan PPA dari PT PLN (Persero). Tanpa PPA, PLTSa belum bisa dioperasionalkan.
Asisten Manajer Komunikasi PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Barat Eriga Wahyuwiranti mengatakan, meski sudah mengajukan, PPA untuk PT NWA belum bisa ditindaklanjuti. Sebab, pengajuan penjualan listrik masih berubah-ubah.
Mulanya, PT NWA mengajukan penjualan listrik sebesar 34,6 megawatt. Namun pengajuan berubah menjadi 19 megawatt dan 9 megawatt. “Feasibility study dan surat penunjukan dari Pemerintah Kota Bekasi juga belum diserahkan,” kata Eriga.
Menurut dia, saat mengajukan penjualan listrik sebesar 34,6 megawatt dan 9 megawatt, PT NWA sempat menyerahkan studi kelayakan. Namun, hasilnya belum memenuhi standar yang diajukan oleh PT PLN (Persero). Ia menambahkan, jika seluruh persyaratan administrasi telah diserahkan dan memenuhi persyaratan, penilaian dan penerbitan PPA membutuhkan waktu sektar 30 hari.
Masih dikaji
Selain hasil studi kelayakan, syarat lain untuk mendapatkan PPA adalah surat tugas dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT PLN (Persero) untuk membeli produk listrik dari PLTSa. Dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No 35/2018, penugasan tersebut akan dibuat berdasarkan usulan gubernur atau wali kota kepada Menteri ESDM.
Dalam pengusulan itu gubernur atau wali kota perlu melampirkan sejumlah dokumen, di antaranya profil pengelola, lokasi dan kapasitas PLTSa. Selain itu, rencana waktu operasi komersial atau commercial operation date (COD) serta surat penugasan BUMD atau penetapan pemenang kompetisi pengelola sampah dan pengembang PLTSa perlu pula disertakan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi mengatakan, usulan untuk Menteri ESDM itu memang belum dikirimkan oleh Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. Sebab, pihaknya masih mengkaji kelayakan pembangkit listrik. Salah satunya kemampuan untuk memusnahkan 150 ton sampah per hari.
Kemampuan itu dibutuhkan karena tumpukan sampah yang ada di TPA Sumur Batu sudah melebihi kapasitas. TPA yang luasnya 21 hektare itu tidak mampu menampung produksi sampah harian se-Kota Bekasi yang mencapai 1.700 ton per hari. Dalam sehari, sampah yang masuk hanya sekitar 700 ton.
Kepala Seksi Penanganan Sampah Kota Bekasi Nazirwan mengatakan, dari total 21 hektare lahan, 20 hektare sudah terpakai. Oleh karena itu, butuh perluasan TPA hingga 3 hektare per tahun, tetapi Pemerintah Kota Bekasi hanya mampu memperluas 1 hektare per tahun.
Oleh karena itu, di TPA Sumur Batu, sampah tidak hanya menggunung di tumpukan yang berada pada empat zona. Sampah juga berceceran di sepanjang jalan di seluruh areal TPA. Air lindi menggenang di mana-mana. Bau busuk menguar ke seluruh areal, lalat pun beterbangan ke setiap sudut TPA.