Peredaran Uang Palsu di Kalbar Manfaatkan Kelengahan Pedagang Kecil
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Kepolisian Daerah Kalimantan Barat membekuk empat pengedar uang palsu. Polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain 116 lembar uang palsu pecahan Rp 100.000 dan 203 lembar pecahan Rp 50.000. Uang palsu dibelanjakan di pasar-pasar kecil memanfaatkan kelengahan pedagang.
Kepala Polda Kalimantan Barat Inspektur Jenderal Didi Haryono dalam jumpa pers, Senin (11/2/2019), mengungkapkan, kronologi pengungkapan kasus ini terjadi pada Jumat (8/2/2019) saat Siti Maimonah, salah seorang tersangka, membeli sandal ke toko milik Jainuri di Kabupaten Mempawah. Sandal itu seharga Rp 30.000 dan Siti memberikan uang Rp 100.000.
Siti pun mendapat uang kembalian Rp 70.000. Saat itu, Jainuri belum sadar bahwa uang yang diberikan Siti palsu. Sementara Siti mendapat kembalian dari Jainuri dengan uang asli.
”Uang palsu yang digunakan Siti baru terungkap saat tukang sate bernama Rudi memberi tahu Jainuri. Sebab, perempuan itu (Siti) ternyata membeli sate yang dijual Rudi juga dengan uang palsu. Jainuri lalu melaporkan hal itu kepada Kepolisian Sektor Anjungan,” kata Didi.
Polsek Anjungan pun langsung menindaklanjuti laporan itu dan menangkap Siti. Setelah diperiksa, Siti mengaku membeli dengan uang tersebut dari Saruji. Saruji pun kemudian ditangkap. Berdasarkan keterangan Saruji, dia memperoleh uang itu dari Husin dan Sunarwi. Sunarwi merupakan residivis kasus serupa.
Kepada polisi, Husin dan Sunarwi mengakui mereka memalsukan uang pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000. Mereka memproduksi uang palsu itu menggunakan printer. Sejak Januari 2019, mereka sudah memproduksi uang palsu senilai Rp 200 juta terbagi dalam pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000. Uang palsu itu dibelanjakan ke pasar yang para pedagangnya kurang pengetahuan sehingga harapannya mudah dikelabui.
Uang palsu itu dibelanjakan ke pasar yang para pedagangnya kurang pengetahuan sehingga harapannya mudah dikelabui.
Membeli mobil
Para tersangka membelanjakan uang palsu di Kabupaten Mempawah, Kubu Raya, dan Kota Pontianak. Dari situ, mereka mendapatkan kembalian berupa uang asli karena para pedagang tidak mengetahui kejahatan mereka. Dari uang kembalian itu, para tersangka mendapat keuntungan. Dari tindakan penipuan itu, ada yang sudah membeli mobil .
”Keempat tersangka dikenai Pasal 36 Ayat 1 dan atau Pasal 36 Ayat 2 dan atau Pasal 36 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan atau Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 245 KUHP. Ancaman hukumannya penjara 15 tahun dan denda Rp 50 miliar,” papar Didi.
Ceklah uang sebagaimana yang sering disosialisasikan, yakni dilihat, diraba, dan diterawang. Jika itu dilakukan, akan mudah mengetahui uang itu asli atau palsu.
Selain lembaran uang palsu, polisi juga menyita printer yang digunakan tersangka mencetak uang palsu. Mereka juga berusaha menghilangkan barang bukti dengan cara membakar uang pecahan Rp 50.000, tetapi petugas masih bisa mendapati jejaknya.
Sunarwi mengaku, dirinya sempat berurusan dengan aparat hukum pada 1991 di Kota Singkawang dan Sambas karena kasus serupa. Kala itu dia ditahan selama tiga bulan. Ia mengaku terpaksa mencetak uang palsu karena desakan ekonomi. Pendapatannya sebagai sopir taksi tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.
Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Kalbar Prijono mengatakan, tindakan penipuan dengan uang palsu bisa membuat kepercayaan masyarakat terhadap rupiah menurun. Untuk itu, perlu ditindak tegas. Apalagi, uang rupiah menyangkut kedaulatan negara.
Prijono mengimbau masyarakat agar teliti sebelum mendapatkan uang. ”Ceklah uang sebagaimana yang sering disosialisasikan, yakni dilihat, diraba, dan diterawang. Jika itu dilakukan, akan mudah mengetahui uang itu asli atau palsu. Jika ditemukan uang palsu, jangan segan-segan lapor polisi,” ujarnya.