Menemukan Talenta Pemrogram Lewat "Hack of Thrones"
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Revolusi industri 4.0 adalah frase yang sedang digandrungi kurang lebih dua sampai tiga tahun terakhir di Indonesia. Saat perusahaan rintisan atau startup bermodalkan teknologi digital semakin banyak, perusahaan yang telah mapan pun harus bertransformasi jika tak ingin terdisrupsi. Tak dapat disangkal, ekonomi digital adalah masa depan. Namun, apakah Indonesia sudah punya cukup programmer atau pemrogram?
Hack of Thrones, yaitu kompetisi kilat membuat perangkat lunak (hackathon), menjadi cara Binar Academy dan Tokopedia menjawab pertanyaan itu. Pada 9-10 Februari 2019, sebanyak 30 tim, masing-masing beranggotakan tiga pemuda berusia 20-an atau kurang, berkutat dengan komputer merealisasikan inovasi ekonomi digital yang diimpikannya. Semuanya bertujuan memudahkan transaksi keuangan memanfaatkan teknologi digital.
Berawal dari kekesalan terhadap kebiasaan kasir swalayan meminta uang receh untuk “didonasikan” atau memberi kembalian berupa permen, misalnya, tim Orientaru menciptakan KOCEK. Aplikasi berbentuk dompet elektronik yang digawangi Aditya, Veronica, dan Ghazi itu memudahkan mentransfer uang pecahan kecil Rp 100 atau kurang.
Dengan KOCEK, penjual bisa memberikan kembalian, misalnya sebesar Rp 150, lewat transfer dompet elektronik. Aplikasi yang mereka kembangkan kurang dari 24 jam itu dioperasikan dengan kode QR (quick response).
Tampilannya mirip dengan fitur Go-Pay dalam aplikasi Go-Jek. Sesaat setelah kode batang dua dimensi itu terpindai, saldo berpindah dari penjual sebagai pemberi uang kembalian kepada pembeli.
Ide tim HAK lain lagi. Bertujuan membantu Tokopedia sebagai situs lapak dalam jaringan (daring) untuk memilih calon penjual yang pantas, Hakiem, Ahmad, dan Khalil mengembangkan perangkat lunak bernama KYCepat. Perangkat lunak itu berfungsi sebagai jaringan peer-to-peer atau antarpihak untuk mengevaluasi calon pembuka kios daring di Tokopedia.
Sistem itu mirip dengan penilaian kredit (credit scoring) perbankan. Namun, ketiga pemuda itu selangkah lebih jauh dengan menerapkan teknologi blockchain untuk meningkatkan peladen (server) penyimpan data.
Tim HAK akhirnya keluar sebagai pemenang utama Hack of Thrones, sedangkan Orientaru sebagai juara kedua. Empat tim lainnya mengisi tempat ketiga hingga keenam. Mereka dinobatkan sebagai enam tim terbaik dari total 350 tim secara nasional.
Di tengah kekecewaan lantaran gagal, Ridwan Afwan (20) dan Wina Hafidh (19), mahasiswa Teknik Informatika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tetap menjaga asa. Hackathon mereka lihat sebagai wadah belajar membuat ide aplikasi mereka benar-benar dapat terealisasi dalam bisnis yang sebenarnya. Sebab, di masa depan, mereka percaya kemampuan itulah yang dibutuhkan Indonesia.
“Arah perekonomian kita sudah pasti digital. Bank-bank yang sudah lama berdiri saja sangat takut terdisrupsi,” kata Ridwan.
Hackathon mereka lihat sebagai wadah belajar membuat ide aplikasi mereka benar-benar dapat terealisasi dalam bisnis yang sebenarnya.
Wina menambahkan, ekonomi digital bukan hanya bertujuan mengakumulasi kekayaan, tetapi benar-benar menyelesaikan masalah masyarakat. Filosofi itu menginspirasi mereka untuk membuat aplikasi berkonsep online-to-offline atau daring ke laring untuk mempertemukan pedagang keliling maupun kaki lima seperti jajanan yang lumrah ditemui di depan sekolah dasar (SD) dengan pembeli.
Mereka mengembangkan penggunaan peta digital untuk memberi informasi lokasi pedagang yang dicari kepada para calon pembeli. “Kekurangan kami memang ada di segi kelanjutan bisnisnya, karena kami pikir, mengembangkan aplikasi jauh lebih penting saat ini,” kata Wina.
Hal itu senada dengan perkataan Presiden Direktur Binar Academy Alamanda Shantika. Bobot penilaian paling besar bagi tim peserta adalah teknologi yang digunakan, yakni 50 persen. Adapun penerapannya dalam bisnis dan produk masing-masing diberi bobot 25 persen dari penilaian.
Ekonomi digital bukan hanya bertujuan mengakumulasi kekayaan, tetapi benar-benar menyelesaikan masalah masyarakat.
Talenta
Alamanda mengemukakan, masih terdapat jurang menganga antara perkembangan industri digital Indonesia dengan tenaga kerja yang memiliki kemampuan pemograman maupun pengolahan data digital. “Hackathon menjadi salah satu cara mencari ‘berlian-berlian’ yang sebelumnya tak terekspos,” kata dia.
Vice President of Engineering Tokopedia Herman Widjaja sepakat. Menurut dia, pertumbuhan bisnis yang diiringi transformasi digital perlu diseimbangkan dengan talenta digital di nusantara.
“Hackathon bisa menemukan talenta-talenta tersembunyi. Saya yakin, banyak orang Indonesia yang pintar dan dapat bersaing di arena dunia. Inilah cara kita menemukannya dan berkembang bersama. Lewat acara seperti ini, kami sudah menemukan 90 talenta digital Indonesia dari ke-30 tim yang mendaftar,” kata Herman.
Berubah
Sebanyak 93 persen lapangan kerja di Indonesia akan mengalami transformasi pada 2021 karena revolusi industri 4.0 (Kompas, 5 Maret 2019). Mengutip laporan Future of JobsReport 2016 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), sebanyak 7,19 juta lapangan pekerjaan di bidang administrasi perkantoran, manufaktur dan produksi, konstruksi dan ekstraksi, media, serta hukum akan tertutup selama 2015-2020.
Di sisi lain, permintaan akan digantikan oleh pekerjaan seperti analis media digital, search engine optimiser, user interface dan user experience designer, front-end developer, dan sebagainya. Menurut Alamanda, jumlah lulusan teknologi informasi sangat banyak, namun tidak semua insinyur dan programmer siap untuk bekerja di perusahaan rintisan maupun di perusahaan yang sedang bertransformasi menjadi digital.
Ke depan, keahlian digital tidak hanya akan dibutuhkan di perusahaan, tetapi juga pemerintahan. Permintaan akan tenaga kerja dengan keahlian coding kode pemograman akan terus meningkat hingga beberapa tahun ke depan.
“Banyak anak muda sekarang yang pengen kerja di startup, tapi belum siap karena kurikulum di universitas yang belum sesuai dengan kebutuhan pasar. Solusinya, di Binar Academy, kami berusaha mengidentifikasi kebutuhan pasar, menyesuaikannya dengan kurikulum kami, dan membantu murid-murid kami untuk mengisi kebutuhan pasar,” kata Alamanda.
Sementara itu, bagaimana dengan tenaga kerja yang terlanjur lulus tanpa keahlian coding? Menurut Alamanda, transformasi digital tidak berarti semua orang harus mampu menguasai pemrograman. Ia menyarankan agar perusahaan dan karyawannya mengubah pola pikir dan menerima data serta digitalisasi sebagai bagian penting perusahaan.
“Perusahaan bisa memulai menyediakan dasbor real time yang bisa dilihat semua orang di perusahaan. Para karyawan pun perlu belajar cara memahami data. Dengan begitu, pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah perusahaan akan lebih cepat,” ujar Alamanda. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)