Ironi Kematian Berulang di Taman Rimbo
Uni (13) akhirnya hidup sebatang kara. Pasangannya, Peter, mati diracun enam tahun silam. Dua dari empat anaknya mati sesaat lahir, dan satu lainnya dipindahkan ke kebun binatang lain. Kini, satu-satunya anak yang tersisa harus mati pula karena penyakit.
Ditinggal mati teman hidup semata wayang tentu menimbulkan duka. Hampir sepanjang hari, Uni hanya berselonjor di bawah bangunan peneduh. Saat bangun, ia sering mengerang.
Tak seperti geraman Uni yang biasanya menggelegar selayaknya si penguasa rimba. Kali ini, suara itu terdengar lemah. Dengan wajah mendongak rendah, ia tampak seperti ingin berkeluh.
Beberapa pengunjung yang kerap singgah ke Kebun Binatang Taman Rimbo, Kota Jambi, pun memerhatikan perubahan pada Uni. Suaranya yang terdengar seperti sedang menangis itu mengundang rasa iba. Ditambah lagi kondisi kaki kanannya pincang akibat peradangan tulang (arthritis). Nyatalah sudah penderitaan tengah dialaminya.
Sejumlah pengunjung juga mulai bertanya-tanya tentang keberadaan Ayu (8), anak Uni. Di kandang rumput untuk harimau sumatera, tinggallah Uni sendirian. “Kemana yang satunya lagi? Biasanya mereka berdua,” ujar Sari (30), salah seorang pengunjung yang datang bersama suami dan anak laki-lakinya, Sabtu (1/2/2019).
Baca juga : Harimau dan Singa Mati di Kebun Binatang Jambi
Ayu mati pada 26 Januari lalu. Hasil pemeriksaan tim medis mendapati Ayu menderita pneumonia alias radang paru. Namun, tim belum dapat memastikan sejak kapan penyakit itu dideritanya.
Yang pasti, kematiannya terbilang mendadak. Hanya satu pekan sejak ia muntah, nyawanya tak terselamatkan lagi. Berbagai upaya medis yang dilakukan beberapa hari terakhir sudah tak mempan lagi mengatasi.
Biasanya, penyakit radang paru tak seketika mengakibatkan kematian. Andai saja penyakit itu terdeteksi sejak awal, pastilah masih ada cukup waktu untuk memperbaiki kondisinya.
Direktur Zoological Society of London (ZSL) Jambi, lembaga yang bergerak dalam konservasi satwa, Yoan Dinata, pun mengaku baru dimintai bantuan medis oleh pihak kebun binatang di saat kondisi kesehatan Ayu telah parah. “Saat kami datang, kondisinya sudah lemah sekali,” katanya.
Kasus berulang
Duka yang dialami Uni bukan sekali itu saja. Sebab, kematian satwa dilindungi di Kebun Binatang Taman Rimba telah berulang.
Mulanya, tahun 2009, seekor harimau betina bernama Sheila mati diracun dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh sekelompok pemburu satwa. Menyusul empat tahun kemudian, kematian berulang pada seekor harimau sumatera bernama Peter, pasangan Uni, dan sepasang singa afrika bernama Gebo dan Sonia. Ketiganya diracun.
Harimau Peter dan singa Gebo mati pada Sabtu, 17 Agustus 2013. Sonia mati esok harinya. Hingga kini, pembunuh Peter, Gebo, dan Sonia tak pernah berhasil diungkap aparat penegak hukum.
Hingga kini, pembunuh Peter, Gebo, dan Sonia tak pernah berhasil diungkap aparat penegak hukum.
Penyelidikan petugas saat itu juga mendapati racun diberikan kepada Ayu, buah hati Peter dan Uni. Ayu masih beruntung karena perawatan medis berhasil menyelamatkan nyawanya.
Namun, 6 tahun setelahnya, keberuntungan tak lagi berpihak. Radang paru akhirnya membawa gadis itu pada kematian.
Sebelum kasus kematian Ayu, kebun binatang itu juga tengah berduka akibat matinya singa jantan bernama Hiro. Penyebabnya diindikasikan akibat gagal jantung.
Menurut Tarmizi, dokter hewan setempat, gagal jantung itu terkait aktivitas pasangan singa yang kerap bermain cakar-cakaran. Ia mengaku beberapa kali mendapati Hiro terluka karena dicakar oleh pasangannya yang bernama Cinta.
Lambat dilaporkan
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jambi, Rahmad Saleh Simbolon, meyakini penyakit yang dialami Ayu sudah cukup lama. Namun, ia baru mendapatkan laporan dari pengelola kebun binatang sepekan sebelum kematiannya. Artinya ada keterlambatan laporan.
Hal serupa terjadi pada laporan untuk kasus kematian singa Hiro. Laporan baru disampaikan pengelola kebun binatang di saat singa telah mati. Adapun, radang tulang yang dialami Uni baru diketahui timnya bersamaan dengan masuknya laporan soal kematian singa.
Rahmad sempat mengutus timnya pada November 2018 untuk mengevaluasi secara menyeluruh pengelolaan di Taman Rimbo. Saat itu, tim sudah mendapati singa Hiro dalam kondisi lemah, karena terus berbaring hampir sepanjang hari. Namun, belum lagi evaluasi selesai dirumuskan, Hiro telanjur mati.
Menurut Kepala Seksi I BKSDA Jambi, Wawan Gunawan, tim mendapati persoalan lemahnya manajemen itu telah berlangsung menahun. Indikasinya terlihat dari tidak adanya rencana kerja maupun rencana pengelolaan lingkungan. “Sejak keluar izin sebagai lembaga konservasi pada 2016, pengelola belum membuat rencana kerja lima tahunan (RKLT) maupun rencana kerja tahunan (RKT),” kata Wawan.
Standar operasional juga tak terpenuhi, mulai dari ketersediaan kandang dan dapur yang ideal, dan juga tidak tersedianya klinik untuk merawat satwa sakit. Kebutuhan satwa untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan umum (general check-up) juga tak pernah dilakukan. Idealnya, pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap 6 bulan sekali.
Berkaca dari peristiwa itu, perlu dilakukan pembenahan menyeluruh dalam pengelolaan di Kebun Binatang Taman Rimbo. Tak hanya soal kecepatan laporan dan koordinasi pihak terkait, tetapi juga penanganan satwa yang lebih baik.
Dokter hewan dan perawat satwa menjadi ujung tombak. Dari kasus kematian Ayu, baru terungkap bahwa dokter hewan di kebun binatang itu tak punya pengalaman menangani satwa liar. "Dokter yang ada memang masih terbilang baru," kata Taupiq Bukhari, Kepala Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Taman Rimbo.
Taupiq pun mengakui selama ini hampir tak pernah dilakukan cek kesehatan menyeluruh (general check-up) untuk satwa setempat. Akibatnya, petugas baru mengetahui seekor satwa sakit di saat kondisinya sudah parah.
Kasus-kasus terdahulu cukuplah sudah menjadi pengalaman berharga. Ke depan, jangan sampai kasus serupa terulang lagi.