JAKARTA, KOMPAS – Pengambilan keputusan seleksi hakim Mahkamah Konstitusi yang ditunda selama satu bulan ditengarai akan sarat dengan kepentingan politik karena membuka ruang-ruang lobi lebih luas. Seleksi hakim Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan pencarian sosok negarawan yang bisa menegakkan konstitusi, bukan semata-mata menimbang kalkulasi kepentingan politik jangka pendek.
Sesi uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi dibayangi kepentingan partai-partai politik menjelang pemilu. Hal ini salah satunya ditengarai dari waktu pengambilan keputusan yang diperpanjang selama satu bulan sampai 12 Maret 2019. Dikhawatirkan, dengan waktu yang diperpanjang, ruang-ruang lobi politik, baik antara calon dengan partai, maupun antarpartai, juga semakin terbuka.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Trimedya Panjaitan di Jakarta, Jumat (8/2/2019) mengatakan, alasan penundaan itu karena anggota DPR masih membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan nama-nama yang ada serta mengonsultasikannya dengan pimpinan masing-masing partai politik. Ia tidak membantah bahwa pengambilan keputusan akan dibayangi pertimbangan politis.
“Ini, kan, memang lembaga politik, sehingga tidak menutup kemungkinan itu. Hanya memang penting untuk ada konsolidasi internal di masing-masing fraksi sebelum mengambil keputusan,” katanya.
Ia juga tidak menampik bahwa ada lobi-lobi politik dan pertimbangan politik sebelum mengambil keputusan seleksi. Namun, menurutnya, meskipun ada, berdasarkan pengalaman, lobi-lobi itu pada akhirnya kerap berujung sia-sia. Calon yang sudah didekati dan pada akhirnya menjabat tidak selalu akan mendukung partai politik yang saat seleksi memilihnya.
Ia menyontohkan, pengalaman PDI-P mengajukan uji materi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tentang pasal mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Saat itu, PDI-P kalah suara di parlemen saat revisi UU MD3 yang mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR dari berdasarkan perolehan suara terbanyak menjadi berdasarkan sistem voting.
PDI-P sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak di Pemilu 2014 pun tidak bisa menduduki kursi ketua DPR. Saat PDI-P mengajukan uji materi, MK memutuskan menolaknya. “Kalau mereka sudah terpilih, tidak ada itu (afiliasi politik). Kalau ada, lima tahun lalu saat uji materi UU MD3, seharusnya kami bisa menang dong. Kalau sudah menjabat, mereka itu dikirimi pesan Whatsapp juga belum tentu langsung dibalas,” ujarnya.
Selain waktu pengambilan keputusan yang ditunda cukup lama, saratnya kepentingan politik juga tampak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota Komisi III DPR saat sesi uji kelayakan dan kepatutan, yang banyak menyoroti mengenai pandangan para calon terkait penanganan sengketa pemilu. Para anggota DPR terkesan bertanya untuk kepentingan politik dirinya maupun partai politik dan koalisinya di pemilu.
Sebagai contoh, anggota DPR, khususnya dari Fraksi Partai Golkar, banyak menyoroti perihal putusan MK pada 2017 lalu terkait keharusan anggota DPR mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannya sebelum mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah. Sejumlah anggota Komisi III mempermasalahkan putusan itu dan berusaha mencari tahu apakah para calon juga akan membuat keputusan sejenis di kemudian hari.
Negarawan
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, pemilihan hakim konstitusi oleh DPR sangat menentukan masa depan kelanjutan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Sebab, saat ini MK tengah menghadapi tantangan besar untuk membuktikan kepada publik bahwa lembaga itu masih independen dan bebas dari kepentingan politik partisan dalam memutus sengketa hasil pemilu atau perkara lainnya.
Dengan pertimbangan itu, politik kenegaraan seharusnya yang dibangun dan dijadikan tolok ukur oleh DPR dalam menentukan hakim konstitusi.
“Pilihan hakim MK harus dijauhkan dari politik transaksional, dihindarkan dari penggunaan politik identitas maupun politik aliran, yakni memilih hanya berdasarkan kesamaan cara pandang politik antara calon dengan parpol di DPR,” kata Bayu.
Penggunaan politik kenegaraan sebagai landasan dalam memilih hakim konstitusi itu berimplikasi langsung dengan kriteria yang terukur dalam memilih seseorang sebagai hakim konstitusi. Kriteria tersebut adalah kadar negarawan yang tinggi, integritas yang baik, dan penguasaan terhadap konstitusi maupun bidang ketatanegaraan yang cakap pula.
“Sikap kenegarawan itu bisa dilihat, misalnya, dengan melihat keberhasilan calon menuntaskan tugas dalam jabatan publik, kejujuran dalam menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), atau penguasaan mereka saat fit and proper test di hadapan DPR. Ukurannya bisa macam-macam, tetapi pendekatan yang digunakan haus obyektif dan bukan subyektif,” kata Bayu.
Keterlibatan tim ahli
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, selama ini tolok ukur negarawan itu sulit diterjemahkan dalam mekanisme seleksi yang dilakukan oleh lembaga pengusul, yakni pemerintah, DPR, maupun Mahkamah Agung. Pelibatan publik secara partisipatif dan kelompok ahli untuk melakukan seleksi terhadap calon hakim konstitusi pun tidak secara konsisten dilakukan oleh lembaga pengusul.
“Selama ini ada kecenderungan lembaga pengusul, yakni dari presiden, mekanisme seleksinya lebih baik, karena melibatkan panel ahli secara langsung dalam menyeleksi calon hakim MK. Namun, hal serupa tidak dilakukan secara konsisten oleh DPR. Begitu juga MA yang mekanisme seleksinya dilakukan internal,” kata Satya.
Dengan mekanisme seleksi yang saat ini dilakukan oleh DPR, menurut Satya, idealnya DPR akan lebih memerhatikan pendapat dari panel ahli untuk menilai kenegarawanan para calon. Kehadiran para panel ahli akan mewarnai pilihan DPR tidak semata-mata pertimbangan politik, tetapi juga melihat karakter mendasar yang harus dimiliki oleh hakim MK, yakni negarawan.
“Sayangnya, pendapat panel ahli di DPR kesannya tidak memiliki kekuatan mengikat dalam menentukan pilihan DPR, karena sifatnya hanya masukan. Jika ini terjadi, maka pertimbangan pemilihan hakim konstitusi di DPR dikhawatirkan akan lebih banyak terjebak pada pertimbangan politik daripada kompetensi, integritas, dan kenegarawanan mereka,” kata Satya.