JAKARTA, KOMPAS – Persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan program sosial menunjukkan tren positif selama tiga tahun terakhir. Ini bisa menjadi momentum untuk mengoptimalkan program di masa depan.
Menurut survei yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), indeks barometer sosial (IBS) pada 2018 adalah 6,6. Angka IBS pada 2017 adalah 6,2 dan 5,8 pada 2016.
IBS sebesar 6,6 termasuk dalam kategori cukup mengupayakan pencapaian keadilan sosial. Sementara itu, IBS yang dinilai ideal ada di angka 8-10 dengan kategori sangat mengupayakan pencapaian keadilan sosial.
IBS menjadi satuan penilaian masyarakat terhadap pelaksanaan program sosial. Survei ini dilakukan terhadap 2.040 responden dari 34 provinsi dengan teknik multistage random sampling. Variabel penilaian antara lain pengetahuan warga akan program, kemudahan akses, kelancaran, kesesuaian program dengan kebutuhan, dan ketepatan sasaran.
“Survei ini dilakukan untuk melihat bagaimana ujung dari penyelenggaraan program sosial. Bermanfaat kah bagi warga? Apakah warga merasa prosesnya berbelit? Dengan survei, kita bisa lihat efektivitas program tersebut. Ini juga menjadi sarana untuk memberi gambaran pada pemerintah,” kata peneliti INFID Bagus Takwin di Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Hal itu dipaparkan pada acara Peluncuraan Hasil Survei Persepsi Warga Mengenai Kualitas Program Sosial: Urgensi Optimalisasi Kualitas Program Sosial di Indonesia. Dalam acara ini, hadir pula antara lain Pelaksana Tugas Direktur INFID Mugiyanto dan Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejumlah program sosial gencar dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan. Beberapa program yang dimaksud adalah Program Keluarga Harapan, Jaminan Kesehatan Nasional, Program Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, Kredit Usaha Rakyat, Program Beras Sejahtera, Balai Latihan Kerja (BLK), dan program magang di perusahaan bagi angkatan kerja.
Program pemerintah dinilai berkontribusi pada perbaikan kesejahteraan warga. Menurut data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan pada September 2018 turun menjadi 9,66 persen. Angka ini setara dengan 910.000 orang. Sementara itu, angka kemiskinan pada September 2017 adalah 10,12 persen.
Penurunan angka kemiskinan juga disertai dengan mengecilnya tingkat kesenjangan kemakmuran. Ini ditandai dengan penurunan rasio gini dari 0,392 menjadi 0,384. Indikator garis kemiskinan pun membaik dari pengeluaran sebesar Rp 387. 160 per kapita per bulan menjadi Rp 410. 670 (Kompas, 21/1/2019).
“Upaya mencapai program sosial yang baik terlihat terus dilakukan. Ini memberi harapan positif. Tapi, masih ada yang perlu dibenahi dan ditingkatkan. Kami rasa pelaksanaan program sosial belum optimal karena kenaikan IBS belum signifikan,” kata Bagus.
Rekomendasi
Pada kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis Kantor Staf Presiden Bimo Wijayanto mengapresiasi hasil survei oleh INFID. Menurutnya, optimalisasi program sosial memerlukan infrastruktur yang mendukung agar bisa mencakup seluruh masyarakat.
“Kami akui masih ada kekurangan di sana-sini. Tapi, kami akan terus membenahinya,” kata Bimo.
Menurut Bimo, salah satu kendala pelaksanaan program ialah ketersediaan sumber daya yang belum memadai. Pada sektor kesehatan, lanjutnya, masih ada ketimpangan jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah masyarakat. Selain itu, distribusi tenaga kesehatan pun belum merata.
Ada sejumlah hal yang direkomendasikan INFID pada pemerintah, antara lain menerapkan standarisasi pelaksanaan program nasional. Selain itu, pemerintah didorong untuk menganalisis kesesuaian program dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).
“Kami juga merekomendasikan agar ada audit pelaksanaan program sosial oleh tim independen. Tujuannya agar ada pandangan objektif tentang program yang dilaksanakan,” kata Bagus. (SEKAR GANDHAWANGI)