Komisi III DPR menunda pengambilan keputusan terkiat seleksi hakim konstitusi, hingga 12 Maret 2019. Padahal, sebelumnya DPR menolak memperpanjang pendaftaran calon dan waktu seleksi dengan alasan akan segera memasuki masa reses.
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan menunda pengambilan keputusan untuk memilih dua hakim konstitusi pengganti Wahiduddin Adams dan Aswanto, hingga 12 Maret 2019. Untuk menyeimbangkan kepentingan politis partai-partai di DPR, catatan dari tim ahli juga perlu dijadikan pertimbangan saat DPR mengambil keputusan akhir.
Penundaan pengambilan keputusan itu diambil dalam rapat pleno Komisi III DPR, Kamis (7/2/2019). Keputusan yang seharusnya diambil kemarin malam, ditunda sampai 12 Maret 2019. DPR beralasan butuh waktu lebih untuk melakukan konsolidasi internal dengan masing-masing pimpinan partai. Alasan lainnya, DPR juga akan memasuki masa reses pada 12 Februari-3 Maret 2019.
“Ini lembaga politik. Para anggota (Komisi III DPR) butuh bertanya kepada masing-masing pimpinan (partainya) harus mengambil keputusan seperti apa. Pada intinya, kami tidak siap (diputuskan) hari ini dan tidak siap juga pekan depan,” kata Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan usai rapat pleno Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin malam.
Perpanjangan waktu ini bertentangan dengan dalih DPR sebelumnya. Awalnya, DPR menolak usulan kelompok masyarakat sipil untuk memperpanjang masa pendaftaran seleksi calon hakim yang sangat singkat, yaitu lima hari. Waktu seleksi yang pendek ini berpotensi jadi hambatan untuk mendapat calon yang lebih berkualitas.
Namun, saat itu DPR beralasan, waktu seleksi tidak bisa diperpanjang karena DPR akan segera memasuki masa reses pada 12 Februari. Setelah itu, anggota DPR akan fokus dengan urusan kampanye pemilu.
Trimedya mengatakan, perubahan jadwal masih memungkinkan, karena jabatan Aswanto dan Wahiduddin Adams sebagai hakim konstitusi akan habis pada 21 Maret 2019. Keduanya saat ini kembali mengajukan diri sebagai calon hakim MK.
Tim ahli
Ada 11 calon hakim MK yang berasal dari berbagai latar belakang yang menjalani sesi uji kelayakan dan kepatutan selama dua hari, pada Rabu (6/2/2019) dan Kamis (7/2/2019). Mereka diuji tidak hanya oleh anggota Komisi III DPR, tetapi juga oleh empat orang tim ahli.
Para tim ahli terdiri dari mantan hakim konstitusi Maria Farida, mantan wakil ketua MK Harjono, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada Eddy OS Hiariej, dan mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan. Keempat tim ahli yang dibentuk DPR itu tidak hanya memantau jalannya seleksi, tetapi juga aktif mengajukan pertanyaan kepada para calon saat sesi uji kelayakan dan kepatutan.
Deputi Direktur Indonesian Legal Rountable Erwin Natosmal Oemar mengatakan, catatan dari para tim ahli itu perlu dijadikan pertimbangan utama yang sifatnya mengikat bagi kesepuluh fraksi di DPR saat mengambil keputusan seleksi calon hakim MK. Penilaian dari mereka penting untuk menjadi penyeimbang di antara pusaran kepentingan politik partai-partai di DPR.
Seleksi hakim MK menjadi strategis karena salah satu tugas pertama para hakim terpilih adalah menangani sengketa hasil pemilu 2019. Catatan tim ahli diharapkan bisa menghasilkan hakim yang negarawan dan bebas kepentingan politik.
Anggota tim ahli Maruarar Siahaan mengatakan, sengketa Pemilu 2019 menjadi tugas berat yang menunggu kedua hakim terpilih. Pemilu yang diselenggarakan serentak, menambah komplikasi masalah.
Dengan jeda untuk pengambilan keputusan lebih dari satu bulan, ada kekhawatiran ruang lobi politik antara para calon dengan anggota DPR dan tim ahli, semakin lebar. Terkait hal itu, Trimedya mengatakan, hanya dapat mengimbau kepada tim ahli dan anggota DPR untuk tidak ‘bersentuhan’ dengan para calon. (Satrio Pangarso Wisanggeni)