Pembiayaan Non-APBN Digenjot untuk Bangun Infrastruktur
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan mengintensifkan penawaran beragam instrumen kepada investor untuk membiayai pembangunan infrastruktur tanpa membebani keuangan negara. Skema pendanaan kreatif dalam bentuk permodalan akan terus dikembangkan.
Hal itu dikatakan Chief Executive Officer Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) Eko Putro Adijayanto dalam diskusi media Kantor Staf Kepresidenan, Jumat (8/2/2019). Hadir pula dalam diskusi itu Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko, Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Kepresidenan Denni Puspa Purbasari, dan ekonom Unika Atma Jaya A Prasetyantoko.
Menurut perhitungan PINA, Pemerintah Indonesia hanya dapat membangun 41,3 persen atau Rp 1.969,6 triliun selama 2015-2019. Namun, bagian ini lebih banyak mencakup infrastruktur dasar seperti jalan desa, irigasi, dan puskesmas. Adapun proporsi infrastruktur yang dibangun BUMN sebesar Rp 1.058,7 triliun (22,2 persen), sementara partisipasi swasta Rp 1.740,7 triliun (36,5 persen) selama 2015-2019.
Target pembangunan infrastruktur semakin besar pada 2019, seperti 1.000 kilometer jalan tol, 24 pelabuhan, 10 kawasan pariwisata terpadu, dan 15 bandara baru. Eko mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas untuk mengumpulkan permodalan dalam pembangunan infrastruktur.
”Infrastruktur yang sifatnya komersial dikembangkan oleh BUMN (badan usaha milik negara) dan partisipasi swasta. Selama ini terpaku pada utang sebagai sumber dana. Tetapi, di era sekarang, perlu lebih banyak creative financing dalam bentuk modal yang instrumennya belum tergali,” kata Eko.
Skema creativefinancing mencakup pembiayaan ekuitas langsung, instrumen investasi near-equity atau perpetuity notes, dan reksa dana (private and mutual fund). Reksa dana mencakup dana infrastruktur (Dinfra) dan dana investasi real estate (DIRE) yang baru dirilis Otoritas Jasa Keuangan dalam dua tahun terakhir serta sekuritisasi.
Eko mengatakan, ketiga jenis pendanaan itu dihitung sebagai ekuitas sehingga dapat dibukukan perusahaan pemilik proyek infrastruktur sebagai modal. Praktik pendanaan ini telah berjalan selama setahun. ”Akhir 2018, financial close kami sebesar 3,3 miliar dollar AS atau Rp 47 triliun-Rp 50 triliun. Jaringan investor sudah dibuat di dalam negeri dan luar negeri,” kata Eko.
Beberapa proyek yang dibiayai skema pendanaan itu antara lain 700 kilometer jalan tol dan pembangkit listrik berkapasitas 225 megawatt (MW). Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati juga didanai reksa dana sebesar 69,7 juta dollar AS, begitu juga proyek kabel serat optik sebesar 13 juta dollar AS. Pendanaan kreatif juga menyasar proyek lain seperti ekspansi pabrik PT Dirgantara Indonesia, produksi kapal selam oleh PT PAL, perkebunan melalui PT Perkebunan Nusantara III, dan perumahan melalui PT Perumnas.
Tahun 2019, PINA menargetkan pencapaian 6 miliar dollar AS untuk 21 proyek dengan peluang investasi sebesar 45 miliar dollar AS atau Rp 629 triliun. Beberapa proyek strategis nasional yang ditawarkan adalah Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi oleh PT Waskita Toll Road, empat bandara oleh PT Angkasa Pura II, serta pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mamuju sebesar 50 MW.
Ekonom Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, mengatakan, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia. Dengan demikian, ketahanan ekonomi Indonesia juga meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
”Daya saing Indonesia masih rendah karena biaya logistik masih tinggi. Pembangunan infrastruktur jadi sangat penting,” kata Prasetyantoko. Menurut laporan Global Competitiveness Index 2018, Indonesia berada di peringkat ke-45 dari 140 negara dengan nilai 64,9.
Dari segi infrastruktur, Indonesia masih tertinggal di posisi ke-71 dengan skor 66,8. Pencapaian ini terlampau jauh dari Singapura yang menempati posisi ke-1 dengan nilai 95,7. Laporan Bank Dunia tahun 2015 juga menyebutkan, pemenuhan infrastruktur Indonesia dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih berada di tingkat 38 persen, di bawah rata-rata dunia sebesar 70 persen.
”Ini menegaskan kebutuhan pembangunan infrastruktur masih sangat relevan. Pembangunan infrastruktur juga dapat membantu Indonesia terjebak dalam jebakan pendapatan menengah (middle-income trap),” kata Prasetyantoko.
Kendati begitu, ia merasa pembiayaan dari utang belum membahayakan keuangan pemerintah. Pembiayaan pemerintah dari utang mencapai Rp 387,4 triliun pada 2018, tumbuh 9,7 persen dari tahun 2017. Pada 2019, pembiayaan dari utang diproyeksikan menurun 7,3 persen menjadi Rp 359,3 triliun.
Adapun pertumbuhan anggaran infrastruktur tidak signifikan. Pada 2018, anggaran infrastruktur mencapai Rp 410,4 triliun, meningkat dari Rp 379,4 triliun pada 2017. Anggaran diperkirakan menjadi Rp 420,5 triliun pada 2019.
Proyek jangka panjang
Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Ekonomi Kantor Staf Kepresidenan Denni Puspa mengatakan, infrastruktur adalah proyek jangka panjang yang harus dipertahankan secara lintas generasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur tidak dapat dikritisi dari keuntungan yang dihasilkannya dalam jangka pendek. Pemerintah lebih banyak berkutat pada infrastruktur yang tidak membawa keuntungan dengan segera.
Di samping itu, infrastruktur juga menjadi alat pemersatu bangsa. ”Membangun infrastruktur fisik juga berarti membangun infrastruktur sosial. Sekolah, puskesmas, dan rumah sakit, misalnya, bisa membangun human capital Indonesia juga,” kata Denni.
Adapun Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, pembangunan infrastruktur bisa membawa pertumbuhan di daerah-daerah, terutama di luar Jawa. Ia mencontohkan, Jalan Lintas Riau-Sumatera Barat dapat menumbuhkan kota metropolitan baru. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)