Jelang Pemilu India, Facebook Perketat Regulasi Periklanan Politik
Oleh
RYAN RINALDY
·3 menit baca
NEW DELHI, JUMAT – Facebook akan segera memperketat regulasi yang mengatur periklanan politik menjelang pemilihan umum di India. Langkah ini diambil untuk menghadirkan transparansi jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pesta demokrasi yang akan berlangsung Mei mendatang itu.
Kebijakan tersebut akan mulai berlaku 21 Februari 2019. Menurut pernyataan resmi yang disampaikan Facebook pada Kamis (7/2/2019) malam, pengguna Facebook nantinya dapat melihat iklan-iklan politik dengan tulisan pernyataan penyangkalan (disclaimer) “diterbitkan oleh” dan “dibayar oleh”.
Sebelumnya, raksasa media sosial itu menyampaikan bahwa mereka akan memperketat peraturan periklanan politik untuk membatasi campur tangan dalam pemilu di India, Nigeria, Ukraina, dan Uni Eropa sebelum pemungutan suara yang akan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan.
Facebook menjanjikan pengguna akan dapat mengakses perpustakaan daring yang memungkinkan mereka mencari informasi terkait iklan-iklan politik yang beredar. Informasi yang dapat diperoleh di antaranya berapa banyak biaya yang digelontorkan pemasang iklan dan demografi pengguna yang melihat suatu iklan politik.
Transparansi juga diharapkan membantu orang menilai konten yang mereka lihat guna mencegah kecurangan pemilu
Tak hanya itu, pengguna juga akan segera dapat melihat lokasi negara pengguna yang mengelola akun Facebook berisi iklan politik.
"Dengan meningkatkan transparansi iklan dan halaman di Facebook, kami berharap dapat meningkatkan akuntabilitas bagi pengiklan. Transparansi juga diharapkan membantu orang menilai konten yang mereka lihat guna mencegah kecurangan pemilu," kata pihak Facebook dalam keterangannya.
Tekanan India
Inisiatif pengetatan regulasi periklanan politik merupakan bagian dari upaya Facebook untuk memperbaiki citra publiknya yang tahun lalu mengalami “pembantaian” setelah skandal privasi yang melibatkan konsultan data Inggris, Cambridge Analytica, mencuat.
Perusahaan Facebook juga menghadapi tekanan kuat dari India, salah satu pasar Internet terbesar di dunia dengan hampir 300 juta pengguna Facebook, untuk menghentikan penyebaran informasi bohong atau hoaks melalui aplikasi WhatsApp-nya yang telah menyebabkan serangkaian insiden pembunuhan.
Pemerintah India baru-baru ini memperingatkan platform media sosial atas segala upaya untuk melemahkan proses pemilu.
Ratusan juta warga India diperkirakan akan memberikan suara dalam pemilu multi-tahap pada Mei 2019. Pemilu disinyalir akan dimulai dengan kampanye sengit antara Perdana Menteri Narendra Modi dari Partai Bharatiya Janata (BJP) dan kubu oposisi Partai Kongres yang dipimpin Rahul Gandhi.
Modi dan Gandhi memiliki jutaan pengikut di media sosial dan partai mereka telah meningkatkan kehadiran secara daring untuk menarik pemilih. Partai-partai politik di India diperkirakan menghabiskan 30 miliar rupee (sekitar Rp 5,8 triliun) selama pemilu 2019, atau hampir dua kali lipat dari jumlah yang dikeluarkan dalam kampanye 2014.
Persulit penggunaan akun palsu
Facebook juga mengklaim pihaknya telah mempersulit bagi pengguna untuk mengelola sebuah halaman menggunakan akun palsu. Salah satu yang dilakukan adalah dengan meminta informasi terkait lokasi negara pengelola halaman di Facebook.
Dalam beberapa tahun terakhir Facebook kerap digunakan secara global oleh para politisi dan oposisi untuk menyebarkan hoaks dan propaganda lainnya. Iklan di Facebook dapat memperluas jangkauan materi seperti itu. Tetapi, pengaruh yang lahir dari cara itu dinilai berpotensi melanggar sejumlah aturan pemilu serta kebijakan perusahaan.
Selain Facebook, Twitter dan Google juga telah meningkatkan transparansi dalam iklan politik. Keduanya telah memperkenalkan sejumlah prosedur verifikasi bagi pengiklan serta pengelola halaman untuk menjalankan kampanye.
Perusahaan-perusahaan seperti Facebook, Twitter, dan Google, mendapat kecaman secara global karena mengizinkan kampanye yang dijalankan oleh kelompok-kelompok pribadi dan anonim, terutama setelah skandal iklan selama pemilihan presiden Amerika Serikat 2016. (AFP/REUTERS)