logo Kompas.id
UtamaWarga Enggan Melaporkan Pungli...
Iklan

Warga Enggan Melaporkan Pungli Sertifikat Tanah

Oleh
Deonisia Arlinta Graceca Dewi
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/BbkrK3zPCIsh8ZZnpCvuKYcM_wY=/1024x497/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190207_113058_1549545097.jpg
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS

(Ilustrasi) Semboyan "stop gratifikasi" dan "stop pungli" terpasang di Kantor Pertanahan Kota Administratif Jakarta Barat, Kamis (7/2/2019).

JAKARTA, KOMPAS – Warga masih enggan melaporkan kejadian yang dialami terkait pungutan liar dalam program sertifikasi tanah. Layanan pengaduan yang ada dinilai belum cukup memberikan jaminan rasa aman bagi warga. Karena itu, banyak praktik pungutan liar atau pungli yang tidak terlaporkan.

Hal itu disampaikan sejumlah warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (7/2/2019). Mereka yang mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), mengaku dipungut biaya oleh petugas RT atau RW saat menyerahkan sejumlah berkas untuk urusan sertifikat.

Padahal, Presiden Joko Widodo pada 2018 lalu meminta agar pengurusan sertifikasi tanah melalui PTSL dibuat gratis. Adapun biaya tambahan untuk kebutuhan pembuatan pra sertifikat, dikenakan biaya seharga Rp 150.000.

Baca juga: Presiden: Lapor Jika Ada Biaya

Naneh (60), warga RT 02 RW 05 Grogol Utara, Kebayoran Lama, dimintai biaya sebesar Rp 3 juta oleh petugas dari RW saat mengurus sertifikat tanah rumahnya pada Oktober 2018 lalu. Sudah hampir empat bulan, arsip berupa KTP, KK, Surat Ahli Waris, serta Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB (SPPT PBB) belum dikembalikan.

"Saya waktu itu ikut bayar karena diberitahu kalau warga yang lain juga turut membayar. Padahal dijanjikan Desember 2018 sudah beres, tapi tidak kunjung ada kabar," kata Naneh.

https://cdn-assetd.kompas.id/_MooaDPjD9T2B_402yVPqS2PNCQ=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190207_160354_1549544731.jpg
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS

Naneh (60), warga RT 02 RW 05 Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Saat ditemui, Kamis (7/2/2019), Ia telah membayar biaya pungutan sebesar Rp 3 juta ke pengurus RW setempat untuk urusan sertifikat tanah.

Ia enggan melapor ke pihak layanan aduan karena takut berkasnya semakin dipersulit oleh pihak pengurus sertifikat tanah. Hal ini membuat dirinya cenderung menunggu proses pengurusan, tanpa ada kepastian.

Hal serupa juga dialami Deny Lestiarma (36), warga RT 08 RW 04 Grogol Utara. Ia yang mengurusi sertifikat sejak September 2018 dikenai biaya sebesar Rp 3,5 juta. Ia membayar uang muka sebesar Rp 1 juta dan diminta membayar sisanya saat sertifikat tanah rampung.

Menunggu lebih dari lima bulan, Deny ingin sekali melapor ke pihak aduan layanan. Dirinya baru-baru ini mengetahui ada layanan aduan dari Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) untuk kasus yang ia alami.

Hal yang menjadi pertimbangan Deny melapor, yaitu barang bukti transaksi dan sisi keamanan. Sejumlah warga di kawasan Grogol Utara membayar biaya untuk urusan PTSL tidak disertai adanya bukti transaksi.

Selain itu, warga masih ragu dengan bagaimana Satgas Saber Pungli menjaga keamanan informasi mereka. Bila posko tim Satgas Saber Pungli berada di sekitar kantor pemerintah daerah atau kota, Deny meragukan informasi yang ia sampaikan justru tersebar ke pihak pemerintah. "Kalau layanan aduan ada di dekat kantor pemerintah setempat. Saya takut mereka lebih berpihak dengan pemerintah, yang justru ditakutkan menjadi pihak penyelenggara dari pungli tersebut," kata Deny.

Hal itu juga ditakutkan Manaf (76), warga RT 02 RW 16 Grogol Utara. Ia yang diminta membayar hingga Rp 6 juta untuk urusan sertifikat tanah, mencurigai ada "permainan" dari pemerintah daerah setempat.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/DyNL0EeFfo0Om1AErZeslPFPEmc=/1024x740/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190207_153143_1549544921.jpg
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS

Nursyam Triatnanti, Ketua RT 01 RW 05 Grogol Utara.

Mengenai hal itu, Ketua RT 01 RW 05 Nursyam Triatnani mengakui adanya pungutan yang diminta oleh pengurus RW setempat. Namun, ia tidak dapat merinci apa saja kebutuhan yang dipenuhi dari biaya sebanyak itu.

Harus jelas

Menurut Sekretaris Satgas Saber Pungli Inspektur Jenderal Polisi Widiyanto Poesoko, pihaknya masih menunggu laporan warga terkait kasus pungutan liar (pungli). Warga dijamin dengan hak perlindungan, asalkan disertai bukti yang jelas.

Ia menghimbau warga untuk melaporkan setiap adanya kasus tersebut. Jika tidak ada yang melapor, ia khawatir pungli itu semakin banyak.

Baca juga: Praktik Pungli Sertifikat Meresahkan

Program pendaftaran tanah sistematis lengkap seharusnya tidak memungut biaya apapun ke masyarakat. Namun, praktiknya masih ditemukan pungutan liar di sejumlah wilayah di DKI Jakarta. Ombudsman Jakarta Raya pun akan memeriksa dan menindaklanjuti temuan tersebut untuk memastikan kebenarannya.

Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho mengatakan, seluruh biaya program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) seharusnya gratis. Sejauh ini, pihak Ombudsman belum pernah menerima laporan adanya pungutan liar atau pungli dalam program ini.

“Sejauh ini sebetulnya Jakarta bersih dari pungli PTSL. Apalagi RW di Jakarta sudah digaji Rp 2,5 juta per bulan. Jika dari temuan tersebut ternyata terbukti (pungli), akan jadi temuan awal di Jakarta,” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/2/2019).

Salah satu korban pungli adalah Deny (30). Ia mengaku diminta membayar Rp 2 juta untuk bisa memeroleh sertifikat tanah untuk rumahnya. Biaya tersebut diminta oleh ketua RT dan ketua RW di lingkungan wilayah tempat tinggalnya di Jakarta Timur (Kompas, 29/1/2019).

Baca juga: Praktik Pungli Sertifikat Meresahkan

Korban lainnya adalah TS (67) warga Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Ia telah mengikuti program PTSL untuk mengurus sertifikat tanah milik orangtuanya. Namun, pengurus RW di lingkungannya justru meminta biaya sebesar Rp 4,5 juta.

https://cdn-assetd.kompas.id/qoVNaT9edcJ2I7zxEkN9NhQtZzA=/1024x1365/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20181113_134556-e1542107976405-4.jpg
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho

Terkait dengan temuan-temuan tersebut, Teguh menyampaikan, belum ada warga yang melaporkan adanya pungli kepada Ombudsman. Meski begitu, pihak Ombudsman akan tetap melakukan pemeriksaan atas prakarsa sendiri jika warga tersebut tidak bersedia melapor.

Ia mengatakan, syarat awal seorang warga bisa mendapatkan sertifikat berada di pemerintah daerah. Biasanya, pihak RW akan membuat surat pengantar ke kelurahan agar bisa diterbitkan PM 1 atau surat keterangan kelurahan. Surat inilah yang menjadi syarat untuk mengajukan proses surat kepemilikan tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Dari sini kami akan lacak dugaan maladministrasi ada di wilayah mana. Apakah di pemerintah daerah dan jajarannya atau di BPN,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang terdapat 1,6 juta bidang di DKI Jakarta. Tahun 2018 telah diterbitkan sertifikat untuk sekitar 330.000 bidang, sedangkan tahun ini ditargetkan seluruh tanah di DKI Jakarta sudah bersertifikat. (Aditya Diveranta)

Editor:
Andy Riza Hidayat
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000