Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, diyakini sebagai peraturan yang dibutuhkan pada era digital. Walaupun pada praktiknya terdapat pasal karet, peraturan itu diciptakan dengan maksud untuk memberi perlindungan terhadap hak warga.
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·2 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Masyarakat diimbau untuk tidak menyebarkan berita bohong melalui spanduk, seperti yang ditemui di Jalan S Parman, Jakarta, Jumat (23/11/2018). Pelakunya bisa dijerat Pasal 28 Ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE diyakini sebagai peraturan yang dibutuhkan pada era digital. Walaupun pada praktiknya terdapat pasal karet, peraturan ini diciptakan dengan maksud untuk memberi perlindungan terhadap hak warga.
Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Rabu (6/2/2019) malam, mengatakan, tujuan awal dari UU ITE yaitu untuk melindungi warga negara. Menurut dia, peraturan tersebut telah melibatkan berbagai pihak berkepentingan, termasuk melibatkan masyarakat sejak proses pembahasan.
”Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan undang-undang itu. Semangat dari pembahasan UU ITE yaitu memberi hak kepada warga negara jika merasa dirugikan, misalnya, dari hal harkat dan martabat,” kata Bambang seusai menghadiri acara Satu Meja Kompas TV.
UU ITE menjadi polemik karena menyimpan pasal karet, yang memberi celah hukum dalam kegiatan penyampaian kritik dan keluhan terhadap suatu pihak. Sebagai contoh, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE melarang setiap orang yang sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik.
KOMPAS/FRANS PATI HERIN
Ketua DPR Bambang Soesatyo
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, terdapat sekitar 380 kasus yang menggunakan UU ITE, terutama Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE sejak diundangkan pada 2008 sampai 31 Oktober 2018. Sekitar 90 persen dari kasus jeratan itu umumnya mengenai pencemaran nama baik dan tuduhan ujaran kebencian.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan UU ITE terus terjadi hingga memasuki awal tahun 2019. Bahkan, per 28 Januari 2019, musisi Ahmad Dhani Prasetyo divonis 1 tahun 6 bulan penjara karena kasus ujaran kebencian.
Mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan, keberadaan UU ITE diperlukan sebagai aturan penyeimbang dari aktivitas demokrasi. Namun, secara praktis peraturan tersebut harus menaruh prioritas tinggi kepada masyarakat, sebagai pihak yang dilayani.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte.
Sementara itu, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte, menilai, konsep kebebasan berpendapat belum dipahami secara benar oleh masyarakat. Menurut dia, konsep mengenai kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain belum tertanam.
”Prinsipnya, apa yang kita tidak ingin lakukan di dunia offline, berarti di dunia online kita juga tidak boleh melakukan itu,” kata Philips.
Literasi
Dengan aturan yang telah berlangsung selama beberapa tahun, Philips mengatakan, semestinya ada sosialisasi mengenai potensi pelanggaran UU ITE untuk masyarakat. Hal itu perlu dilakukan secara multidepartemen, meliputi aparat penegak hukum, pemerintah, dan media massa.
”Literasi terhadap peraturan menjadi hal yang penting untuk dibangun. Hal ini penting agar perilaku masyarakat di dunia maya lebih beradab,” kata Philips. (ADITYA DIVERANTA)