Pemanfaatan Tol Belum Optimal, Pelaku Usaha Perlu Sesuaikan Bisnis
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha jasa transportasi barang dan penumpang belum sepenuhnya memanfaatkan Jalan Tol Trans-Jawa. Selain problem tarif yang dinilai masih terlalu tinggi, pelaku usaha perlu menyesuaikan perencanaan bisnisnya agar pemanfaatan tol lebih optimal.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Ateng Aryono di Jakarta, Rabu (6/2/2019), menyatakan, tingkat pemanfaatan jalan tol oleh pelaku usaha transportasi tidak seluruhnya sama. Dibandingkan angkutan barang, pelaku usaha angkutan penumpang lebih banyak memanfaatkan Jalan Tol Trans-Jawa.
”Teman-teman (pelaku usaha) yang punya trayek antarkota akan diuntungkan dengan adanya Tol Trans-Jawa. Mereka pasti akan tergoda untuk memanfaatkannya mengingat penumpang lebih suka perjalanan lebih singkat dan tidak ada macet,” kata Ateng.
Hal ini berbeda dengan pelaku usaha angkutan barang. Untuk angkutan barang terdapat segmen yang memerlukan waktu tempuh lebih singkat, tetapi ada yang tidak. Bagi yang memerlukan waktu tempuh lebih singkat, tentu mereka akan memilih memanfaatkan jalan tol.
Sebagai jalan alternatif, pelaku usaha tidak harus lewat tol. Namun, karena jalan tol dibangun untuk memperlancar arus logistik dan meningkatkan daya saing, perlu upaya khusus agar sektor logistik memanfaatkannya secara maksimal.
Pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah agar angkutan umum atau plat kuning mendapatkan diskon tarif tol sebesar 50 persen. Pemberian diskon tersebut bisa langsung dikerjasamakan dengan pelaku usaha transportasi. Meski sudah ada diskon tarif untuk jarak terjauh sebesar 15 persen, pelaku usaha masih menilainya tinggi dan menjadi pertimbangan utama. Sebab, di sisi lain, biaya jasa pengangkutan tidak berubah karena kompetisi yang ketat.
Meski logistik sering dikatakan diutamakan, kenyataannya di beberapa ruas tol kendaraan truk justru dibatasi, seperti melalui kebijakan pembatasan waktu operasi ada jam tertentu. ”Padahal, dari sisi perundang-undangan jalan yang ada, jaringan jalan itu untuk memperlancar logistik nasional. Ini yang nomor satu,” ujar Ateng.
Soal kepadatan
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman. Menurut Kyatmaja, saat ini kebanyakan pengusaha truk masih memilih lewat jalan arteri pantai utara dibandingkan melewati Tol Trans-Jawa. Selain persoalan tarif yang tinggi, kepadatan lalu lintas di jalan arteri dinilai semakin berkurang karena kendaraan pribadi banyak beralih ke jalan tol.
”Kalau kita sendiri, tidak ada masalah dengan tidak masuk tol. Lewat tol itu menguntungkan dari sisi waktu, semisal Jakarta-Surabaya dari 30 jam menjadi 18 jam, separuh. Namun, biaya yang harus dikeluarkan juga sangat besar,” ujar Kyatmaja.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tol Indonesia (ATI) Kris Ade Sudiyono berpandangan, pilihan untuk menggunakan jalan arteri atau jalan tol mutlak berada di pengguna jalan itu sendiri. Dari perpektif fungsi, jalan tol adalah sebagai bagian dan alternatif jaringan jalan nasional.
Selama ini, persepsi masyarakat terhadap jalan arteri adalah jalan umum untuk semua pengguna jalan dan semua moda kendaraan serta digunakan untuk penghubung transportasi jarak pendek. Sementara pemanfaatan jalan tol cenderung untuk transportasi kendaraan jarak jauh, jalur logistik, dan atau jalur komuter. Persepsi ini akan memengaruhi pola lalu lintas yang menggunakan jalan tol.
”Bagi investor jalan tol, pola dan jumlah lalu lintas kendaraan akan diprediksi dan diproyeksikan dalam perencanaan bisnisnya dan merupakan bagian risiko yang diperjanjikan dengan regulator atau pemerintah,” kata Kris.
Dengan demikian, kreativitas yang dilakukan untuk menarik pemakai jalan tol, seperti pemberian diskon tarif, adalah bagian dari strategi yang dijalankan untuk mencapai rencana bisnis yang diperjanjikan.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyatakan, skema pentarifan Tol Trans-Jawa saat ini sudah sesuai dengan kebijakan rasionalisasi tarif. Dalam waktu dua bulan ini, pemerintah akan melihat pola lalu lintas di Jalan Tol Trans-Jawa.
Data pola lalu lintas tersebut akan dijadikan dasar untuk membuat kebijakan penarifan tol selanjutnya. ”Pasti nanti ada perubahan,” kata Basuki.