Praktik Pungli Sertifikat Meresahkan
JAKARTA, KOMPAS – Praktik pungutan liar pada program pengurusan sertifikat tanah masih muncul di sejumlah tempat. Layanan program yang seharusnya bebas biaya ini dimanfaatkan oknum aparat dengan menarik biaya hingga Rp 5 juta. Praktik ilegal ini sedang ditangani kepolisian.
Salah satu korban pungutan liar (pungli), yaitu TS (67) yang membayar Rp 5 juta demi memperoleh sertifikat tanah milik orangtuanya. Rumah tersebut merupakan warisan dari orangtua yang saat ini ditinggali adiknya. Rumah tersebut berada di RW 015 Kelurahan Pisangan Baru Kecamatan Matraman Jakarta Timur.
Pada tanggal 30 Januari 2019, ia mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dicanangkan gratis. Program dari Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla itu merupakan kelanjutan Program Operasi Nasional Agraria (Prona) masa Orde Baru yang sempat mandek.
Namun, pengurus RW di lingkungannya meminta biaya sebesar Rp 4,5 juta untuk pengurusan sertifikasi tanah tersebut. “Biaya yang diminta sempat dinaikkan menjadi Rp 7 juta, tapi kami tawar dan akhirnya menjadi Rp 5 juta,” ungkap TS, Rabu (6/2/2019).
Ia terpaksa memberi uang daripada dipersulit dan akhirnya tidak mendapat sertifkat. Meskipun, dari pengurus RW bersangkutan tidak memberi rincian yang jelas terkait dana pembiayaan pengurusan sertifikat. TS menjelaskan, sejak 1950-an sebagian besar masyarakat kelurahan tersebut belum memiliki sertifikat rumah. Hanya ada surat keterangan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta tanda lunas melunasi pembayaran kepada negara.
Singkat cerita, TS mentransfer uang melalui rekening ke Ketua RW tanggal 30 Januari 2019 dan tanggal 4 Februari 2019 untuk mengurus sertifikat. Saat mengambil sertifikat, oknum RW masih meminta biaya tambahan sebesar Rp 1 juta. Namun permintaan tidak sempat dikabulkan oleh TS. “Saya bilang ke adik saya, pokoknya diambil dulu sertifikat itu, sertifikat harus dipegang dulu. Rencananya saya akan lapor ke Satgas Saber Pungli,” ucap dia.
Di sisi lain, TS mengaku bahwa Program PTSL tersebut sangat membantu orang-orang yang keterangan kepemilikan rumahnya masih abu-abu. “Seharusnya program yang serius membantu rakyat kecil ini mendapat banyak dukungan. Mungkin lebih diawasi lagi pihak dibawahnya,” imbuh dia.
Korban pungli lainnya adalah Deny (30) yang mengaku diminta membayar Rp 2 juta. Biaya tersebut ditarik ketua RT dan ketua RW di lingkungan wilyah tempat tinggalnya di Jaktim, Kompas.id (29/1/2019).
Baca juga : Ada Pungli Sertifikat Tanah
Selain itu juga ada Mulyadi (43), warga Kecamatan Serpong. Ia mengurus sertifikat tanah seluas 60 meter persegi melalui ketua RT pada Agustus 2018. Dalam prosesnya, Mulyadi diminta uang Rp 1,5 juta, Kompas (26/1/2019).
Menurut keterangan dari Tim Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) sampai hari ini, Rabu, belum ada masyarakat yang melaporkan bahwa menjadi korban pungli pengurusan sertifikasi tanah di oleh oknum RT atau pun RW. “Pemberitaan sudah ramai di media, tapi blum ada masyarakat yang lapor sehingga kami tidak mungkin meraba-raba wilayah mana yang terjadi pungli,” ujar Sekretaris Satgas Saber Pungli Inspektur Jenderal Polisi Widiyanto Poesoko di kantornya.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat tidak perlu takut atau khawatir untuk melapor karena akan dilindungi jika ada kemungkinan ancaman. Masyarakat bisa langsung melaporkan ke posko-posko yang berada di kantor Pemerintah Daerah, Kota, atau call center 193. “Dengan syarat bukti harus jelas sehingga penindakan bisa dilakukan dengan cepat,” jelas dia.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2016, operasi yang utama dari satgas adalah tangkap tangan. Sebelum transaksi masyarakat bisa melapor sehingga bukti lebih kuat. Sanksi yang diberikan apabila terbukti melakukan pungli, untuk masyarakat sipil akan dikenakan pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan hukuman maksimal sembilan tahun penjara.
Lebih lanjut, Widiyanto menjelaskan PTSL ini merupakan program yang membantu masyarakat yang tidak mampu. Selain, juga memudahkan masyarakat karena syarat atau ketentuan yang dibutuhkan mudah, seperti tidak harus punya AJB (akte jual beli).
Namun, adanya program PTSL tersebut, RT dan RW yang sebelumnya tidak menangani pengurusan sertifikasi tanah harus ikut membantu karena sebelumnya ditangani penuh dari BPN. “Nah, itu yang biasanya dimanfaatkan untuk meminta bayaran tambahan. Untuk biaya Patok, materai, dan lain-lain dibebankan hanya Rp 150.000,” ucap dia.
Hal tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri Mei 2017 tentang pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis. Untuk wilayah Kategori I sebesar Rp 450.000, Kategori II sebesar Rp 350.000, Kategori III Rp 250.000, Kategori IV Rp 200.000, Kategori V Jawa dan Bali biaya yang ditanggung masyarakat sebesar Rp 150.000. Rinciannya untuk pembiayaan penggandaan dokumen, pengangkutan dan pemasangan patok, transportasi petugas kelurahan/desa dari kantor kelurahan/desa ke kantor pertanahan dalam perbaikan dokumen yang diperlukan.
“Jika biaya dirasa masih kurang, biasanya akan ada musyawarah bersama antara RT dan warga tentang penambahan biaya tapi dengan diketahui BPN sehingga jelas,” ujar Widiyanto. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk melaporkan permasalahan tersebut, karena jika tidak ada yang melapor pungli dikhawatirkan makin banyak.
Sementara itu, menurut mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional M Noor Marzuki, biaya pengurusan sertifikasi tanah tersebut tidak secara langsung bebas biaya. Untuk biaya-biaya yang menyangkut pengukuran dan panitia pelaksana yang menjadi tupoksinya BPN memang ditanggung pemerintah melalui APBN atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BPN.
Ia menjelaskan, ada yang namanya kegiatan prasertifikat, biaya untuk pra tersebut sangat tergantung kondisi dilapangan. Misalnya, masyarakat yang tidak punya surat sama sekali atau mereka punya tanah tapi proses peralihan aktanya keliru.
Kekurangan tersebut membutuhkan biaya tambahan karena dari kelurahan dan RT perlu memperbaiki dan meluruskan surat-suratnya agar memenuhi syarat untuk diproses. Biaya tersebut karena terhitung jasa biasanya berdasarkan sukarela dan hasil kesepakatan untuk menentukan besarnya angka.
Baca juga : Masyarakat Diminta Bijak Manfaatkan Sertifikat Tanah
“Kalau memang masyarakat merasa keberatan karena biaya terlalu besar mestinya jangan dibayar dulu. Kalau transaksi sudah terjadi, sertifikat sudah jadi kemudian dipermasalahkan, ya minta saja pertanggungjawaban pada pihak yang bersangkutan. Tidak perlu sampai menjadi viral, sederhana,” kata M Noor Marzuki yang sekarang menjabat Staff Ahli di Kementerian Pertahanan.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah menerbitkan total 13,54 juta sertifikat tanah di seluruh Indonesia yang tahun ini ditargetkan 9 juta sertifikat.(FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)