Kapal Ikan Ilegal dari Negara Tetangga Masih Dominan
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali menangkap dua kapal ikan asing. Keduanya berbendera Malaysia. Tren kapal ikan ilegal yang masuk perairan Indonesia menurun empat tahun terakhir. Namun, kapal-kapal dari negara tetangga dinilai masih dominan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo di Jakarta, Senin (4/2/2019), menyatakan, kapal ikan ilegal asal Malaysia ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan (KP) Hiu 012 di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka pada 2 Februari 2019.
Kedua kapal yang ditangkap ialah KM KHF 1980 yang berukuran 63,74 gros ton dan KM KHF 2598 berkuran 64,19 gros ton. Kapal itu menggunakan alat tangkap pukat harimau (trawl) yang dilarang. Adapun nakhoda dan anak buah kapal adalah warga negara Thailand.
Kapal-kapal itu juga tidak memiliki izin untuk menangkap di perairan Indonesia. Jenis ikan yang ditangkap merupakan ikan campuran. ”Semua unsur melanggar,” kata Nilanto.
Tren jumlah kapal ikan ilegal yang tertangkap petugas cenderung turun. Namun, pencurian ikan masih terjadi dan kapal-kapal ikan ilegal yang ditangkap didominasi dari negara-negara tetangga.
Pelanggaran masih berpotensi terjadi setelah musim angin barat. Kapal ilegal mengincar perairan Indonesia yang kaya sumber daya ikan. ”Kita dan negara tetangga sudah sepakat menegakkan hukum di wilayah masing-masing serta tidak menoleransi pelanggaran,” kata Nilanto.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, jumlah kapal ikan ilegal yang ditangkap menurun, yakni dari 102 kapal pada 2015 menjadi 163 kapal pada 2016, lalu 132 kapal pada 2017, dan 109 kapal pada 2018. Selama Januari-Oktober 2018, sebanyak 633 kapal perikanan ilegal ditangkap, termasuk 267 kapal ikan asing.
Pacu produksi
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata berpendapat, penurunan tren kapal ikan asing ilegal belum diikuti optimalisasi kapal ikan Indonesia untuk mengisi perairan.
Dua persoalan masih terjadi, yakni bantuan kapal dari pemerintah untuk mengakses perairan masih menghadapi masalah dalam operasional. Kendala lain, perizinan yang lamban dan terhambat mekanisme verifikasi untuk kapal menengah dan besar.
Pelayanan perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik dinilai belum jelas prosesnya. ”Peluang perikanan ilegal tetap terbuka karena belum dipenuhinya perairan Indonesia oleh nelayan (lokal) serta kelemahan pengawasan laut seperti keterbatasan armada,” kata Marthin.
Kapal perikanan ilegal asing yang ditangkap petugas selama 2015-2018 antara lain berasal dari Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam Forum Bisnis Perikanan Tangkap di Jakarta akhir pekan lalu menegaskan, arah kebijakan perikanan adalah kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Upaya Pemerintah Indonesia memberantas perikanan ilegal ditunjukkan antara lain dengan menenggelamkan 488 kapal ikan ilegal. ”Kita dengan tegas mengawal laut Indonesia. Laut Indonesia hanya untuk modal kapal dan ABK (anak buah kapal) dalam negeri,” kata Susi.
Pemberantasan penangkapan ikan ilegal juga dinilai meningkatkan stok ikan nasional. Stok ikan lestari pada 2016 sebesar 12,5 juta ton, meningkat jadi 13,1 juta ton pada 2018. Kenaikan potensi ikan itu bisa dinikmati oleh pelaku usaha dalam negeri.
Dengan tata perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, produk perikanan Indonesia kini telah diterima di 146 negara. ”Jika kedaulatan dan keberlanjutan perikanan terus dilakukan, kesejahteraan pelaku usaha akan meningkat,” kata Susi.