Gagasan bahwa triliunan mikroorganisme usus bisa memengaruhi otak atau sistem saraf pusat manusia pada 10 tahun lalu dianggap liar. Namun studi terbaru menemukan bahwa bakteri tertentu berkaitan erat dengan depresi yang dialami seseorang.
Selama itu, ide tersebut dianggap kontroversial. Mekanisme hubungan antara mikroorganisme usus itu hingga bisa memengaruhi fungsi otak, seperti ingatan dan perilaku, dianggap lemah. Demikian pula bagaimana mikrobiata itu bisa berperan dalam depresi dan penyakit degeneratif yang diderita seseorang.
Meski demikian, sejumlah studi yang dilakukan selama ini hanya menunjukkan bahwa hubungan antara bakteri usus, metabolismenya dengan sejumlah gejala neurologisnya hanya bersifat korelatif semata, tidak menunjukkan sebab akibat.
Studi yang dilakukan itu umumnya juga hanya menggunakan model hewan yang tidak bisa menggambarkan sifat atau perilaku manusia secara akurat. Sementara riset pada manusia hanya melibatkan responden yang terbatas serta kurang memerhatikan faktor perancu yang bisa memengaruhi hasil, seperti pola diet yang tidak umum atau penggunaan obat antibiotik dan antidepressan yang bisa memengaruhi mikroorganisme.
Namun, studi terbaru yang dipimpin Mireia Valles-Colomer dari Departemen Mikrobiologi dan Immunologi, Institut Riset Kedokteran Rega, Universitas Katolik Leuven, Belgia menemukan bahwa orang yang depresi memiliki jumlah bakteri, Coprococcus dan Dialister, yang lebih rendah dibanding yang tidak mengalami depresi.
Korelasi positif
Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature Microbiology, Senin (4/2/2109) itu menemukan korelasi positif antara kualitas hidup dan kemampuan potensial mikrobioma usus untuk mensistensis produk pecahan dopamin, yaitu asam 3,4-dihridroksi fenil asetat.
Dopamin adalah zat neurotransmitter yang berperan dalam pengiriman pesan di otak, terlibat dalam perasaan senang, gembira dan percaya diri, hingga memotivasi seseorang. Dopamin juga berfungsi menjaga pembuluh darah agar tetap lebar hingga banyak digunakan sebagai obat untuk penyakit jantung, gagal ginjal atau penurunan kesadaran.
Meski demikian, sekali lagi, temuan Valles-Colomer dan rekan itu masih bersifat korelasi, bukan sebab akibat. Namun studi itu memperkuat gagasan bahwa mikrobiota dalam usus seseorang bisa memengaruhi kesehatan mental mereka.
Riset itu dilakukan dengan menggunakan pengurutan asam deoksiribonukleat (DNA) guna menganalisis mikrobiota usus pada lebih dari 1.000 orang yang terlibat dalam Proyek Flora Usus Flemish, Belgia. Hasil itu kemudian dikorelasikan dengan taksa mikrobioma berbeda dengan kualitas hidup responden dan depresi yang mereka alami baik dari pelaporan mandiri atau diagnosis dokter.
Selanjutnya, peneliti memvalidasi temuan itu dengan kelompok berbeda dari 1.063 orang yang terlibat dalam proyek LifeLines DEEP di Belanda. Dari situ, peneliti menambang data untuk menghasilkan katalog yang bisa menjelaskan kapasitas mikrobiota usus guna memproduksi atau menurunkan molekul yang bisa berinteraksi dengan sistem saraf manusia.
Kini, peneliti mengetahui bahwa mikrobiota usus bisa menghasilkan atau merangsang produksi neurotransmitter dan senyawa neuroaktif tertentu, seperti serotonin (memengaruhi suasana hati, nafsu makan dan tidur), GABA/asam gama-aminobutirat (menghambat reaksi dan tanggapan neurologis yang tidak menguntungkan), dan dopamin. Senyawa-senyawa itu dapat memodulasi pertumbuhan bakteri.
Saat ini tantangannya adalah, para peneliti harus mengetahui bagaimana molekul-molekul yang dihasilkan mikroorganisme di usus itu bisa berinteraksi dengan sistem saraf pusat manusia hingga bisa mengubah perilaku dan meningkatkan risiko penyakit seseorang. Meski demikian, hasil yang ada saat ini setidaknya mampu menjawab gagasan tentang mikroba usus dan gangguan mental secara terstruktur.