Pasar Semawis, Merawat Indonesia dari Gang Sempit Pecinan
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·4 menit baca
Kesenian ondel-ondel berpadu atraksi barongsai, Minggu (3/2/2019) malam, menghibur ribuan warga di malam terakhir Pasar Imlek Semawis 2570 di kawasan pecinan Kota Semarang, Jawa Tengah. Pasar Semawis Semarang, yang membentang mulai dari Gang Wotgandul hingga Gang Pinggir, menjadi cawan peleburan berbagai suku, budaya, dan agama.
Pasar Imlek Semawis 2570 yang digelar pada 1-3 Februari menjadi perayaan awal warga etnis Tionghoa Semarang dalam merayakan Imlek pada 5 Februari. Tahun ini memasuki tahun ke-15 penyelenggaraan Pasar Semawis. Jalan berliku telah dilewati. Dimulai sejak 2004 ketika Tahun Baru China yang diperingati di seluruh dunia ditetapkan menjadi hari libur di Indonesia pada era Presiden RI Abdurrahman Wahid.
Gang Wotgandul dan Gang Pinggir, gang yang memiliki lebar sekitar 6 meter dengan panjang 150 meter, menjadi lokasi paling padat serta ramai ketika bazar Pasar Semawis berlangsung. Meski digelar di kawasan pecinan, di bazar ini tersaji pula aneka makanan dan minuman dari beragam latar belakang budaya di seantero Indonesia.
”Mengunjungi Pasar Semawis, kami bisa lebih dekat mengenal tradisi dan budaya Tionghoa. Sehari-hari, jarang sekali bisa bertemu anak-anak muda etnis Tionghoa. Namun, dengan adanya bazar ini, saya bisa mengenalnya. Dari bazar ini, pemahaman akan tradisi mereka makin bertambah,” ujar Suryanti, gadis Muslim asal Kampung Pucanggading, Semarang, yang gemar buah potong dengan sambal pedas di Pasar Semawis.
Sepanjang tiga hari sejak pukul 05.00 hingga 22.00, Pasar Semawis ramai dikunjungi ribuan warga berbagai etnis yang berbaur tanpa mengenal sekat ras, agama, dan budaya. Sejumlah anak muda dari Malaysia, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat juga menghadiri keramaian Pasar Semawis. Mereka adalah mahasiswa dan dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi di Semarang ataupun Salatiga yang penasaran dengan Pasar Semawis.
Untuk keperluan ibadah pengunjung Muslim, panitia Pasar Semawis juga menyediakan mushala di salah satu ruangan di rumah warga Tionghoa di Gang Wotgandul. Ruang mushala itu bersih, ada karpet biru serta tersedia pula sarana air untuk wudhu. Banyak pula kaum muda beristirahat di sini saat lelah setelah berkeliling sepanjang Pasar Semawis.
Menurut Ketua Pasar Semawis 2570, Ocha Mattias, perayaan Pasar Imlek Semawis ke-15 ini mengambil tema Waras, yang artinya warga rukun agawe sentosa. Ini sesuai makna tahun babi tanah, yakni kerukunan akan membawa kemakmuran. Rukun sama juga dengan makin eratnya kekeluargaan warga di Kota Semarang.
Lebih meriah
Sejumlah pengunjung di Pasar Semawis menuturkan, bazar kali ini lebih meriah dan beragam dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kemeriahan itu bisa disaksikan sejak awal pembukaan, yakni adanya hidangan bersama yang disebut ”tok panjang” saat pembukaan.
Jamuan tok panjang merupakan simbol nyata kerukunan dan kekeluargaan etnis Tioanghoa kepada siapa saja. Tidaklah heran bahwa tamu yang hadir dapat duduk bersama menikmati hidangan yang tersedia. Ada tujuh menu spesial, tentu saja masakan yang halal dan dapat dinikmati beramai-ramai.
Menu itu seperti teh serbat, minuman herbal dari 20 macam tanaman herbal asal China untuk kesehatan. Juga ada brokoli udang, sup lobak yang menyehatkan, termasuk hidangan utama nasi ulam bunga telam, masakan tradisi keturunan etnis Tionghoa di Malaysia dan Singapura.
Di Pasar Semawis, pengunjung tidak perlu khawatir menyantap makanan tidak halal. Ini berkat pengaturan los kuliner yang terlihat jelas dan terpisah antara menu khas Tionghoa dan menu umum yang bisa dinikmati warga Muslim.
Menu favorit yang paling diminati pengunjung adalah olahan ikan laut, mulai dari udang hingga cumi bakar. Selain lezat, cumi-cumi bakar yang dimasak dengan api besar oleh koki terlatih itu memberi hiburan tersendiri.
Pada gelaran Pasar Semawis ini, pengunjung tak hanya melulu menikmati keragaman kuliner. Bazar juga menampilkan seni tradisi Barongsai, ada pula pertunjukan bela diri wing chun, ketwrampilan atlet wushu, tari kesenian Semarangan, serta kebolehan dalang Wayang Potehi. Kali ini juga ditampilkan permainan Xiangqi atau catur gajah, permainan yang mirip strategi sejenis catur atau halma yang dimainkan dua orang.
Pengamat tradisi pecinan, Budi Kurniawan, menuturkan, generasi muda Tionghoa bisa belajar memahami tradisi etnisnya melalui interaksi dengan generasi tua di Semawis. Begitu pula bazar Semawis membuka selebarnya bagi warga etnis lain mengenal tradisi Tionghoa, dari kuliner sampai seni budayanya.
“Kami dari Perserikatan Organisasi Indonesia Tionghoa Semarang juga akan mengadakan silaturahmi dengan tokoh masyarakat dan warga dari Masjid Agung Jawa Tengah serta tokoh masyarakat lainnya selesai Imlek nanti.” (Budi Kurniawan-Pengamat Tradisi Pecinan)
Perayaan Imlek dengan gelaran pasar Semawis, bagian dari tradisi kelenteng tua, Tay Kak Sie di gang Lombok yang berdiri sejak 1746. Di Semarang, perayaan Imlek tidak hanya di kawasan Pecinan, tetapi juga kelenteng Sam Poo Kong dan sejumlah kelenteng lain.
Puncak perayaan Imlek akan ditandai menu khas lontong Cap Go Meh dan juga pelepasan burung pipit Peking yang bertujuan supaya rejeki bertambah. “Kami dari Perserikatan Organisasi Indonesia Tionghoa Semarang juga akan mengadakan silaturahmi dengan tokoh masyarakat dan warga dari Masjid Agung Jawa Tengah serta tokoh masyarakat lainnya selesai Imlek nanti,” ujar Budi.
Jalan panjang merawat tradisi kerukunan itu, menumbuhkan pemahaman budaya antaretnis yang diteruskan oleh generasi berikutnya. Dari waktu ke waktu untuk merawat keberagaman etnis di negeri tercinta, Indonesia.