Siap ditempatkan di mana dan kapan saja. Begitu kira-kira bunyi satu pasal dalam surat perjanjian kerja ketika saya diterima di PT Kompas Media Nusantara, perusahaan yang menghasilkan Harian Kompas. Koran yang kemudian menempatkan saya bekerja di Bandung kala itu.
Pasal itu begitu saya ingat karena paling menakutkan. Ia seperti ajal yang bisa datang kapan saja. Bahkan ketika saya tidak benar-benar siap. Tetapi saya percaya bahwa ketakutan adalah pertahanan paling ampuh dalam menghadapi beban hidup. Dengan ketakutan itu, alam bawah sadar saya sudah mengantisipasi bahwa kelak tak perlu takut lagi ketika suratan itu datang. Ketika harus pindah dari Bandung.
Tetapi saya percaya bahwa ketakutan adalah pertahanan paling ampuh dalam menghadapi beban hidup.
Bertahun-tahun bekerja dan tinggal di Bandung, membuat saya nyaman. Terutama oleh udaranya yang sejuk di badan dan gadis-gadisnya yang sejuk di mata. Saya berada di zona nyaman.
Tapi, tak ada pesta yang tak berakhir. Tahun 2010 saya dipindah tugas dari Bandung ke Medan. Dari kota sejuk penuh kembang ke kota, yang kata orang, banyak diisi preman. Sampai-sampai ada kawan yang SMS, "Iq, turut berduka cita kamu dipindah ke Medan."
Saya sendiri sempat terbawa oleh asumsi tersebut, Maklum, selama ini tidak kenal Kota Medan. Tahunya hanya sopir-sopir angkutan kota di Kota Bandung, yang datang dari Medan. Belakangan saya tahu mereka tak hanya dari Medan, sih, tapi Sumatera Utara. Memang, mereka galak-galak, hehehe.
Setelah beberapa hari di Medan, saya menginsafi satu hal. Sejatinya, Medan tidak seseram yang dibayangkan orang. Di kota yang sering kehilangan wali kotanya ini--dipenjara karena korupsi--saya berinteraksi dan berdialektika dengan beragam suku. Orang-orangnya sangat terbuka.
Dari sisi geografis, hawa Medan mirip dengan Paciran, Lamongan, tempat saya lahir. Beda backsound saja. Jika di Paciran tutur kata orang-orangnya lebih lembut, di Medan banyak orang teriak dengan logat khas Medan. Sekilas seperti orang marah-marah padahal tidak sedang marah. Memang begitu gayanya.
Di Medan pula, kematangan jurnalistik saya terasah dan berkembang. Berbulan-bulan menginap di kaki Gunung Sinabung yang terus erupsi. Itu salah satunya. Sepekan sekali pulang ke Medan untuk ganti baju. Selebihnya, mondar-mandir di Kaki Gunung Sinabung. Setidaknya ini saya lakukan sejak November 2013 sampai Maret 2014 sebelum akhirnya saya dipindah ke Jakarta.
Selama di Medan itu pula, saya meliput peristiwa yang luar biasa bagi saya, perampokan yang terjalin-kelindan dengan terorisme.
Ketika baru sekitar tiga bulan di Medan, yakni pada Agustus 2010 muncul perampokan di Bank CIMB Niaga yang dikaitkan dengan pendanaan gerakan terorisme. Disusul penembakan terhadap kantor Polsek Hamparan Perak sebulan kemudian. Waktu itu kelompok penembak yang menewaskan tiga polisi diduga masih bersembunyi di sekitar lokasi. Saya dan bos saya, Andreas Maryoto, menyusuri jalan sepi menuju lokasi. "Kita mampir kantor dulu ambil rompi antipeluru," kata Mas MAR, inisial sekaligus panggilan akrab Andreas Maryoto.
Itulah pertama kalinya saya pakai rompi antipeluru, yang kualitas sebenarnya hanya sekelas rompi antibacok. Sebab, jika ditembak betulan, tembus juga itu peluru ke kulit. Lepas dari kualitas itu, rompi ini menyuntikkan rasa percaya diri seolah saya tak mempan ditembak.
Rompi ini seperti rompi pada umumnya. Hanya saja di lapisi kepingan baja yang dijahit sedemikian rupa. Beratnya sekitar empat kilogram. Rompi antipeluru yang berkualitas, beratnya sampai 10 kilogram.
Dini hari itu, saya mondar-mandir menggali informasi di sekitar Polsek Hamparan Perak, berbekal semangat dan keberanian tinggi berkat rompi antibacok tadi. Setiap setengah jam saya juga laporan untuk Kompas.com. Ini menjadi agenda wajib bagi wartawan Harian Kompas untuk menyokong kemajuan Kompas.com.
Sepuluh sampai lima belas menit rompi antibacok itu masih nyaman di badan. Lama-lama tersiksa juga. Panas banget!
Akan tetapi saya bertahan memakainya. Malulah ketahuan wartawan lain kalau saya kepanasan karena pakai rompi antipeluru.
Pada Oktober 2010, gerombolan penembak polisi itu diketahui bersembunyi di perkebunan kelapa sawit di Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, sekitar 90 kilometer dari Kota Medan. Polisi mengejarnya jauh ke perkebunan, yang seolah tak bertepi itu.
Malulah ketahuan wartawan lain kalau saya kepanasan karena pakai rompi antipeluru.
Saya bersama tiga rekan ikut berburu ke Dolok Masihul untuk mendapat informasi yang lengkap dan akurat. Sebab, wartawan yang bagus harus berada di jantung peristiwa. Di jantung peristiwa inilah wartawan dapat dengan mudah bercerita tentang detail dan pokok kejadian. Wartawan menjadi saksi.
Akan tetapi yang paling utama adalah keselamatan karena tak ada berita seharga nyawa. Oleh karena itu, saya kembali memakai rompi antipeluru tadi.
Dalam satu kesempatan, saya ikut berlarian di belakang polisi yang mengejar gerombolan teroris di tengah kebun kelapa sawit. Saya mencari sudut bidik foto terbaik karena waktu itu tidak ada fotografer, jadi saya merangkap. Kebetulan saya juga senang memotret, berbekal kamera kredit dari pinjaman dana kantor.
Rasanya sudah seperti di film-film. Terjadi baku tembak. Saya di belakang polisi dan sangat percaya diri karena memakai rompi antibacok tadi. “Wartawan tolong sembunyi di balik sawit!” teriak seorang polisi ketika terdengar tembakan dari arah berlawanan.
Saya segera sembunyi sembari mencari celah untuk dapat membidikkan kamera. Saat itulah saya melihat seseorang roboh diterjang timah panas. Lima pelaku perampokan beserta rekannya tumbang. Sisanya tertembak di hari berikutnya.
Pengalaman peliputan tersebut mungkin tidak akan pernah saya alami jika menolak pindah dari Bandung ke Medan. Itu juga karena rompi antibacok. Rompi ini sekarang masih tersimpan rapi di kantor Harian Kompas di Medan.