PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum telah membayar 3,85 miliar dollar AS atau hampir Rp 60 triliun untuk menebus saham PT Freeport Indonesia dengan kepemilikan mencapai 51,23 persen. Pembayaran itu adalah buah dari kesepakatan divestasi antara pemerintah dan Freeport McMoran Inc selaku perusahaan induk PT Freeport Indonesia. Harus ada manfaat yang setimpal, atau bahkan lebih, untuk transaksi kelas jumbo tersebut.
Bicara Freeport memang bukan soal tambang semata. Banyak isu bergulir dan bahkan turut menjadi perhatian dunia internasional. Sebut saja soal kerusakan lingkungan yang timbul akibat pembuangan tailing (limbah hasil pengolahan bijih), sosial dan budaya suku asli akibat operasi perusahaan, termasuk soal yang paling sensitif, yakni dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Soal tailing, sekitar 200.000 ton dibuang setiap harinya ke sungai menuju laut. Volume tailing yang masif sejalan dengan volume bijih yang dikeruk. Ratusan ribu ton bijih setiap hari seperti menjadi kompensasi atas tingginya biaya operasi Freeport untuk medan yang sulit dan menantang di pedalaman Timika. Dalam volume kecil, penambangan tidak akan ekonomis. Setiap tahun, biaya operasi Freeport sekitar 2 miliar dollar AS atau hampir Rp 30 triliun.
Belum lagi masalah sosial setempat. Tingginya ketergantungan Papua, apalagi Mimika, terhadap operasi Freeport tentu bukanlah kabar menggembirakan. Pasalnya, sebagai sebuah bisnis sumber daya ekstraktif yang tak bisa diperbarui, suatu saat operasi tambang akan terhenti lantaran kehabisan cadangan atau sumber daya. Lalu, bagaimans nasib orang-orang Papua, dan, yang tak kalah penting, alamnya?
Ini yang harus dipikirkan. Sudah 50 tahun lamanya Freeport beroperasi di tanah Papua dan belum berhasil ”mengeluarkan” Papua pada ketergantungan terhadap operasi tambang emas dan tembaga tersebut. Memang, urusan semacam ini sejatinya bukan urusan korporasi swasta, tetapi tanggung jawab pemerintah, baik pusat dan daerah. Hanya saja, Freeport adalah pemilik sumber daya besar (modal, teknologi, dan sumber daya manusia) yang cukup komplet.
Ratusan juta dollar AS atau setara triliunan rupiah pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport kepada pemerintah sebaiknya menjadi modal penggerak ekonomi lokal. Bukan sebagai modal konsumsi. Potensi lokal yang ada bisa dikembangkan lewat modal berupa penerimaan negara berupa pajak maupun bukan pajak dari Freeport tersebut. Ini sebagai antisipasi apabila Freeport berhenti beroperasi pada waktunya nanti.
Persoalan-persoalan tersebut di atas yang harus bisa dijawab Inalum sebagai pemilik saham mayoritas nanti. Seperti yang menjadi cita-cita awal divestasi, yaitu penguasaan sumber daya alam oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus benar-benar terwujud. Jangan sampai divestasi hanya menjadi arena bagi para penikmat keuntungan sesaat atau yang biasa dikenal sebagai praktik perburuan rente.
Hal lainnya mengenai hilirisasi sampai sekarang belum terjawab. Di awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, smelter tambahan untuk mengolah konsentrat tembaga Freeport sedianya akan dibangun di Papua. Sebuah wilayah sempat dikunjungi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ketika itu. Selain smelter, lokasi tersebut juga hendak dijadikan kawasan industri pupuk, pengepakan semen, dan petrokimia. Sayangnya, sampai sekarang nasib kelanjutan rencana tersebut menguap entah ke mana.
Setidaknya, hilirisasi bisa menciptakan nilai tambah yang ujung-ujungnya dapat mengurangi ketergantungan Papua terhadap keberadaan Freeport. Inilah yang harus diperhatikan Inalum. Sebagai pemilik baru yang lebih dekat secara psikologis karena representasi Indonesia, Inalum harus mampu membuat masyarakat sekitar tambang berdaya atau mandiri. Amanat hilirisasi seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus diwujudkan.