JAKARTA, KOMPAS — Klasifikasi data elektronik pada teknologi komputasi awan belum optimal karena belum ada dasar regulasi yang jelas. Padahal, hal ini dinilai bisa membawa dampak positif pada perkembangan sektor industri.
Isu itu muncul dalam seminar berjudul ”Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan”, di Jakarta, Kamis (31/1/2019). Seminar tersebut memaparkan hasil riset Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada.
Pada era Industri 4.0, pemanfaatan komputasi awan atau cloud computing jadi penting. Menurut laman Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemkominfo), teknologi ini menggabungkan pemanfaatan komputer, jaringan, server, dan aplikasi berbasis internet. Akibatnya, efisiensi penggunaan sumber daya teknologi informasi dan komunikasi bisa ditingkatkan.
Namun, pelaksanaan teknologi ini mewajibkan para penyelenggara sistem elektronik menempatkan pusat data mereka di Indonesia. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PTSE).
”Peraturan itu susah sekali diterapkan. Pertanyaannya adalah apakah kita punya tempat untuk membangun (pusat data)? Siapa yang akan membangunnya? Ini membuat berbisnis di Indonesia menjadi mahal sekali,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi Samuel Abrijani Pangerapan dalam seminar tersebut.
Panduan klasifikasi data elektronik yang dapat diakses dan dikelola juga dinilai belum jelas. Regulasi tindakan standar pengamanan data pun begitu. Padahal, klasifikasi data berdampak pada upaya proteksi terhadap data.
Peneliti Senior CfDS, Lia Wulandari, mengatakan, data dapat diklasifikasi berdasarkan tingkat sensitivitas, kerahasiaan, dan dampak yang ditimbulkan apabila data tersebut bocor. Dalam rancangan revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang PTSE, pemerintah membuat tiga klasifikasi data.
Pertama, data elektronik strategis, yakni data yang berdampak pada kepentingan umum, pelayanan publik, ataupun pertahanan dan keamanan negara. Data ini tidak boleh dikirim, ditukar, atau disalin ke luar wilayah Indonesia.
Kedua, data elektronik berisiko tinggi. Data ini akan berdampak pada pemilik data dan sektor terkait apabila terjadi ancaman atau gangguan terhadapnya. Ketiga, data elektronik berisiko rendah, yaitu data yang akan membawa dampak kepada pemilik data jika terancam.
Klasifikasi ini penting karena akan menentukan tingkat proteksi data. Semakin strategis klasifikasinya, proteksinya akan semakin ketat. Kasifikasi juga krusial dalam konteks penanganan masalah pada data. Hal ini berguna pula untuk melindungi privasi para pemilik data.
”Dari segi hukum, belum ada aturan yang jelas soal klasifikasi data. Para pemilik data belum tahu bentuk pengamanan terhadap datanya. Jangan sampai data strategis diproteksi dengan pengamanan untuk data berisiko rendah,” kata Lia.
Manfaat jangka panjang
Hingga kini, pemerintah masih menggodok peraturan terkait komputasi awan. Samuel mengatakan, pembenahan teknologi ini sejalan dengan persiapan infrastruktur lunak (soft infrastructure) untuk perkembangan ekonomi digital Indonesia di masa depan.
Pada kesempatan yang sama, dosen Program Studi Teknik Industri Universitas Gadjah Mada, Budhi Sholeh Wibowo, mengatakan, pemanfaatan komputasi awan bisa berdampak pada kemudahan bisnis di Indonesia. Pasalnya, nilai investasi dengan komputansi awan relatif rendah.
”Dengan komputasi awan, kita bisa menyimpan dan memproses data melalui pihak ketiga di luar negeri. Kalau kita buat sendiri (teknologi penyimpanan datanya), biayanya akan sangat mahal. Dengan ini, nilai investasi perusahaan akan lebih rendah (ketika mulai berbisnis),” kata Budhi.
Menurut data Bank Dunia pada 2018, Indonesia menempati peringkat ke-72 dalam bidang ease of business. Peringkat ini masih jauh dari Singapura di peringkat ke-2 dan Malaysia di peringkat ke-24. Angka ini menunjukkan potensi ekonomi Indonesia belum bisa bersaing secara optimal.
Pengamat dan praktisi teknologi informasi, Tony Seno Hartono, mengatakan, komputansi awan menjadi sarana bagi industri untuk berinovasi secara murah. Oleh sebab itu, ia mendorong agar komputasi awan dimanfaatkan secara maksimal. (SEKAR GANDHAWANGI)