Penyediaan rumah layak bagi aparatur sipil negara (ASN) serta anggota TNI dan Polri mulai dibahas medio 2018. Berdasarkan laporan, ada 945.000 ASN, 275.000 anggota TNI, dan 360.000 anggota Polri belum punya rumah. Pemerintah lalu menyatakan akan membangun rumah bagi 1 juta ASN serta anggota TNI/Polri tahun 2019-2024. Menurut rencana, ada subsidi bunga bagi mereka dan hunian yang disediakan berupa rumah susun sederhana milik (rusunami) di atas lahan milik negara.
Dalam perjalanannya, sasaran diperluas. Pemerintah juga membuat skema pembiayaan bagi milenial. Rencananya, satu paket dengan skema bagi ASN serta TNI/Polri melalui perluasan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang sudah berjalan sejak 2010.
Dengan skema FLPP yang diperluas, batasan penghasilan dinaikkan, selama ini Rp 4 juta bagi pembeli rumah tapak dan Rp 7 juta bagi pembeli rusunami. Selain itu, rumah yang dibangun boleh di atas tipe 36. Uang muka dan bunga kredit juga dijanjikan rendah. Asumsinya, pendapatan kelompok milenial di atas golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Sasarannya mesti diperjelas dengan pertimbangan yang matang, bukan sekadar tempelan.
Rencana itu disambut positif, seperti oleh pengembang. Selain akan mengurangi angka kekurangan rumah, program itu diyakini akan mendorong sektor properti yang saat ini mengandalkan segmen menengah ke bawah. Namun, rencana tersebut masih menimbulkan pertanyaan, siapa yang dimaksud kelompok milenial itu? Bagaimana menyusun batasan bagi mereka?
Generasi milenial sering digolongkan sebagai mereka yang berusia antara 19-34 tahun. Sebagian dari mereka masih dalam tahap pendidikan dan sebagian lainnya sudah bekerja sehingga memiliki penghasilan. Jumlah mereka berkisar 70 juta-80 juta jiwa dari total penduduk Indonesia sekitar 260 juta jiwa. Keberadaan mereka pun tersebar, baik di perkotaan maupun perdesaan.
Dari sisi usia, kebanyakan adalah pekerja yang baru meniti karir. Tren lain menunjukkan, mereka mudah berpindah tempat kerja dalam periode waktu yang singkat. Karena masih meniti karir, kemampuan finansialnya diperkirakan masih terbatas. Dari sisi status, sebagian besar adalah keluarga muda yang masih menata rumah tangga.
Di sisi lain, generasi milenial disebut-sebut lebih mementingkan kesenangan, seperti berwisata, dibandingkan memiliki rumah. Mereka ingin hunian yang fungsional, seperti dekat dengan lokasi kerja. Dengan kecenderungan mudah berpindah tempat kerja, hunian sewa di kota lebih disukai. Dengan karakteristik itu, mesti dipertimbangkan jenis hunian yang sesuai, apakah hunian tapak atau vertikal.
Pertanyaan lain, apa mereka harus memiliki (membeli) hunian sejak dini? Sebab, dengan karakteristik yang mudah berpindah tempat kerja di lokasi berbeda serta kemampuan finansial yang dalam tahap membangun, adanya aset yang mesti dijaga (dibayar) bisa jadi justru akan membuat mereka terbebani. Sebaliknya, tidakkah hunian sewa lebih tepat. Dengan demikian, sembari meniti karir, mereka bisa menabung untuk kelak memberi hunian yang sesuai.
Di sisi lain, jika yang didorong adalah kepemilikan rumah tapak, justru akan membuat membuat harga lahan semakin tidak terkendali. Padahal, selama ini pemerintah kesulitan menyedikan hunian yang terjangkau, seperti rumah susun sederhana sewa, karena ketersediaan lahan yang minim di perkotaan. Pembentukan bank tanah untuk perumahan pun sampai saat ini baru sebatas wacana.
Memperluas skema pembiayaan perumahan dengan mengikutsertakan generasi milenial adalah gagasan positif. Namun, sasarannya mesti diperjelas dengan pertimbangan yang matang, bukan sekadar tempelan.