Tata Kelola Jadi Tantangan
JAKARTA, KOMPAS-- PT Freeport Indonesia akan menghadapi masalah tata kelola pasca divestasi saham perusahaan tersebut yang dibeli PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum. Kepemilikan saham oleh Inalum, sebagai perusahaan BUMN, bersifat jangka pendek. Sebab, hal ini bergantung pada pemerintahan yang berkuasa.
Kondisi tersebut rawan menimbulkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal itu mengemuka dalam diskusi peluncuran buku berjudul "Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara", Senin (28/1/2019), di Jakarta.
Diskusi dipandu wartawan Kompas Pieter Gero, dengan narasumber Menteri BUMN 2001-2004 Laksamana Sukardi, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, dan penulis buku, Ferdy Hasiman.
PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Timika, Papua, resmi melepas sebagian sahamnya ke pihak Indonesia hingga 51,23 persen, senilai 3,85 miliar (hampir Rp 60 triliun) pada 21 Desember 2018.
Saham itu dibagi menjadi 41,23 persen milik Inalum dan 10 persen milik Pemerintah Provinsi Papua bersama Pemerintah Kabupaten Mimika. Dengan demikian, Freeport McMoran Inc, selaku perusahaan induk PT Freeport Indonesia, memegang saham 48,77 persen.
Menurut Laksamana, Inalum akan menghadapi tantangan berat pasca divestasi tersebut. Selain harus menyiapkan modal operasi yang nilainya triliunan rupiah, tantangan lainberupa masalah tata kelola.
Sebagai perusahaan milik negara, Inalum akan rawan diintervensi dalam mengelola PT Freeport Indonesia.
"Orientasi pemegang saham BUMN bersifat jangka pendek, sesuai umur masa pemerintahan yang sedang berkuasa. Di sini akan rawan diintervensi. Setelah diambil BUMN, apakah Freeport semakin baik pengelolaannya atau justru sebaliknya. Di situ tantangannya," ujar Laksamana.
Laksamana menambahkan, dari sektor penerimaan negara, kebijakan menaikkan pajak dan royalti terhadap produk tambang Freeport adalah cara yang lebih aman ketimbang membeli saham lewat divestasi.
Pemerintah akan dibebaskan dari ongkos pembelian saham yang nilainya besar, termasuk risiko investasi. Inalum harus mampu membuktikan keputusan divestasi saham PT Freeport Indonesia adalah langkah yang tepat.
Lebih baik
Sementara itu, menurut Ferdy, pembelian sebagian saham PT Freeport Indonesia oleh Inalum masih lebih baik ketimbang proses divestasi saham perusahaan tambang mineral lain, seperti Newmont di Nusa Tenggara Barat dan tambang emas Martabe di Sumatera Utara.
Menurut dia, pada divestasi saham dua perusahaan tersebut, tak ada satu pun BUMN yang berhasil mendapat sebagian sahamnya. Sebagian besar saham masih dikuasai oleh pihak swasta.
"Di masa lalu, negara tidak memberikan porsi yang cukup bagi BUMN untuk berjaya. Jadi, divestasi saham Freeport oleh Inalum layak diapresiasi dibandingkan dengan proses divestasi di tambang Newmont maupun Martabe," katanya.
Nilai tambah
Rizal mengingatkan, Inalum harus mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat, khususnya Papua, dalam mengelola tambang Freeport.
Apalagi, kertergantungan Papua, khususnya Kabupaten Mimika, terhadap operasi Freeport terbilang tinggi.
"Jangan lagi terulang kasus gas Arun di Aceh. Setelah gasnya habis, rakyat dapat apa? Freeport pasca divestasi harus memberi manfaat yang besar bagi rakyat Papua di bidang ekonomi maupun pengembangan sumber daya manusianya," ujar Rizal.
Freeport berkomitmen membangun smelter tembaga sebagai bagian dari kesepakatan divestasi. Nilai investasi pembangunan smelter baru tersebut 2,3 miliar dollar AS dengan peningkatan kapasitas menjadi 2 juta ton konsentrat tembaga. Pada 2017, Freeport memproduksi bijih rata-rata 140.000 ton per hari dengan kandungan tembaga 1,01 persen; emas 1,15 gram per ton; dan perak 4,32 gram per ton.