Suu Kyi Hendak Revisi Konstitusi Setelah Ajak Investor Berinvestasi
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Partai berkuasa Myanmar, Selasa (29/1/2019), mengusulkan perubahan konstitusi. Langkah itu merupakan tantangan terbesarnya dalam hampir tiga tahun ini karena dapat meningkatkan ketegangan dengan militer yang ingin mempertahankan peran politiknya.
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, memperjuangkan perubahan konstitusi sejak kemenangan besar partai itu pada 2015. Dalam konstitusi, militer selama ini diberi peran yang besar dalam tatanan pemerintah dan politik negeri itu.
Usulan perubahan konstitusi terjadi ketika para pemimpin sipil dan militer menghadapi tekanan internasional. Terutama tekanan terkait meningkat tindak kekerasan terhadap minoritas Rohingya pada 2017 yang juga menyebabkan sekitar 730.000 orang melarikan diri ke Bangladesh.
”Mereka akan mengajukan proposal hari ini,” kata Ye Htut, anggota parlemen majelis tinggi NLD untuk wilayah utara Sagaing, kepada Reuters. ”Itu adalah janji pada saat pemilu.”
Investasi
Sehari sebelumnya, Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mendesak investor global untuk berinvestasi ke Myanmar, Senin (28/1/2019). Seruan Suu Kyi itu dilakukan sebagai upayanya untuk mengimbangi dampak negatif dari krisis Rohingya dan lambatnya reformasi ekonomi di negeri itu.
Suu Kyi memuji potensi ekonomi Myanmar, lokasi geografisnya yang menarik, perluasan pasar domestik dan populasi anak muda. Dia juga mendaftar beberapa reformasi yang dilakukan oleh pemerintahannya sejak berkuasa pada 2016.
”Saya berdiri di sini untuk menegaskan kembali komitmen kami untuk melanjutkan reformasi kami dan untuk membangun lingkungan yang ramah investasi,” kata Suu Kyi di Naypyidaw saat meluncurkan konferensi investasi resmi pertama yang diselenggarakan oleh pemerintahannya.
Walaupun relatif sedikit perincian tentang reformasi yang direncanakan, konferensi itu dapat menandakan perubahan dalam pendekatan pemerintah terhadap komunitas bisnis. Hingga saat ini, para investor mengeluh bahwa pemerintah sebagian besar berfokus pada mengakhiri konflik bersenjata yang tak terhitung jumlahnya di negara itu, mengabaikan reformasi ekonomi dan kebutuhan mereka.
”Silakan datang ke Myanmar, terlibat dalam atmosfer yang penuh dengan peluang dan saksikan semangat ekonomi kami yang baru ditemukan dengan mata kepala Anda sendiri,” katanya di depan undangan yang hadir, terdiri dari para pebisnis, diplomat, dan jurnalis yang berkumpul di aula konferensi.
Suu Kyi tidak menyebutkan dalam pidatonya krisis Rohingya dan dampak mengerikan yang ditimbulkannya pada investasi. Banyak bisnis khawatir bahwa beberapa sanksi Barat yang menghambat ekonomi terkait hal itu, di bawah kekuasaan militer dapat dipulihkan.
Sekitar 730.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine ke arah barat ke Bangladesh sejak tindakan keras militer pada 2017 setelah pemberontak Rohingya menyerang pos keamanan.
Sebuah misi pencarian fakta yang diamanatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menghasilkan laporan bahwa militer Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan geng Rohingya dengan ”niat genosida” dan menyerukan agar para jenderal tinggi dituntut.
Myanmar menolak temuan itu. Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan tahun lalu datanya menunjukkan bahwa beberapa investor asing menunda persetujuan akhir proyek sampai ada kejelasan tentang bagaimana situasi dapat terungkap.
Uni Eropa sedang mempertimbangkan sanksi perdagangan terhadap Myanmar atas krisis tersebut, yang berpotensi melucuti negara itu dari akses bebas-tarif ke blok perdagangan terbesar di dunia. Langkah-langkah tersebut dapat mencakup industri tekstil Myanmar yang menguntungkan dan berpotensi membahayakan ribuan lapangan pekerjaan.
Secara terpisah, bulan ini, UE memberlakukan tarif beras dari Myanmar dan Kamboja untuk mengekang lonjakan impor. Namun, Suu Kyi tidak menyebut langkah-langkah UE dalam pidatonya.
Bank Dunia mengatakan, bulan lalu pihaknya memperkirakan produk domestik bruto Myanmar turun menjadi 6,2 persen pada tahun fiskal 2018-2019 dari 6,8 persen tahun sebelumnya. Bank Dunia melihat ”risiko penurunan tinggi dari dampak intensif dari krisis Rakhine”, di antara faktor lain yang berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan.
Pemerintah Myanmar terus mereformasi kerangka hukum untuk berinvestasi dan mendirikan perusahaan, meliberalisasi beberapa pembatasan era junta pada investasi, dan telah menciptakan bank proyek-proyek utama yang ingin diimplementasikan. (REUTERS/CAL)