Mantan Ketua DPR Setya Novanto Sering Tangani Proyek Besar
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian sepak terjang mantan Ketua Umum Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto kembali terkuak di pengadilan. Novanto disebut sering menangani proyek besar selama memimpin Partai Golkar. Hal ini berbeda dengan terdakwa mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham yang disebut tidak pernah menerima proyek besar seperti halnya Novanto.
Pernyataan ini disampaikan Eni Maulani Saragih, Wakil Ketua Komisi VII DPR (nonaktif) Fraksi Partai Golkar, saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (29/1/2019). Eni, yang bersaksi pada kasus suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 ini, menyebutkan, mantan Menteri Sosial Idrus Marham tidak pernah menangani proyek besar.
Padahal, Idrus merupakan petinggi partai yang sewajarnya diberi kepercayaan untuk memegang proyek. Pada kasus suap itu, Idrus dan Eni didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang yang berjumlah Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources. Hadiah itu digunakan untuk memuluskan perusahaan Kotjo agar memenangi proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau-1.
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi memperdengarkan rekaman telepon antara Eni dan Kotjo. Pembicaraan mereka terkait perkembangan proyek PLTU Riau-1. Namun, di tengah-tengah pembicaraan, Eni pun memberikan telepon itu kepada Idrus, terdengar Idrus dan Kotjo saling menyapa satu sama lain.
Jaksa Ronald F Worotikan menanyakan motif Eni yang tiba-tiba memberikan telepon itu kepada Idrus. Padahal, dalam pembicaraan itu, fokus pembicaraan terkait perkembangan proyek PLTU Riau-1. ”Yang ingin kami tanyakan, saksi sedang membicarakan tentang Riau-1 dengan Pak Kotjo. Apa alasan saksi memberikan telepon ke terdakwa? Apa motif saksi memberikan telepon kepada Idrus Marham?” kata Ronald.
”Mungkin, ya, itu karena Pak Idrus kenal juga sama Pak Kotjo,” jawab Eni.
Jaksa kembali mencecar Eni alasan ia memberikan telepon itu kepada Idrus. Ronald mempertanyakan, apakah Eni selalu melaporkan setiap perkembangan proyek PLTU RIai-1 kepada Idrus. ”Lho, jangan mungkin, saksi yang memberikan telepon itu ke Pak Idrus. Apakah memang saudari selalu melaporkan segalanya ke Pak Idrus?”
”Ya, memang begini Pak, dari awal saya ditugaskan Pak Setya Novanto, saya selalu cerita ke Pak Idrus. Jadi, saya menganggap Pak Idrus sebagai Sekjen Partai Golkar, partai besar, selalu kerja buat partai. Namun, saya enggak pernah lihat Pak Idrus dapat sesuatu apa-apa, seperti yang Pak Setya Novanto dapatkan. Ini rasa keadlian saja,” ujar Eni.
”Memang Pak Setya Novanto dapat apa?” tanya Ronald.
”Ya, saya tidak tahulah dapat apa,” jawab Eni.
”Tadi Saudara menyebutkan Pak Setya Novanto mendapat sesuatu, sedangkan Pak Idrus tidak. Pak Setya Novanto dapat apa?” kata Ronald.
”Ya, Pak Novanto mempunyai banyak proyek. Pak Novanto bisa menjanjikan saya 1,5 juta dollar AS. Buat saya, ini rasa keadilan. Pak Idrus ini sekjen besar dan kerja buat partai siang-malam. Saya merasa ini tidak adil, makanya saya bilang ke Pak Novanto, ’Pak, tolong dong Pak Idrus juga dapat’. Namun, Pak Novanto bilang ’Jangan En, janganlah. Pak Idrus tidak usah tahu,” tutur Eni.
Eni menambahkan, selama ini, Idrus tidak pernah mendapatkan proyek besar seperti yang diperoleh Novanto. Menurut dia, Idrus sebagai petinggi berhak mendapatkan hak yang sama dengan Novanto. Eni pun menilai perlakuan Novanto kepada Idrus tidak adil karena Idrus sama-sama sudah bekerja keras untuk partai.
”Oh, jadi itu motivasinya selalu melaporkan proyek itu ke Pak Idrus?” kata Ronald.
”Iya. Pak Setya Novanto saja bisa menjanjikan ke saya uang sebesar 1,5 juta dollar AS. Besaran segitu ke sekjen harusnya juga bisa dong. Akhirnya, Pak Novanto bilang, ’Jangan En, ini uang gede! Pak Idrus kasih uang kecil saja’. Ya, saya jadi sedih juga, ada yang tidak adil di sini,” ujar Eni.