Sejarah mencatat, sejumlah perilaku yang dianggap koruptif telah diterapkan oleh para pejabat yang diangkat oleh raja atau sultan sejak masa prakolonial. Meski secara parsial, upaya pemberantasan korupsi pun sudah dilakukan. Berkaca dari pemerintahan Hindia Belanda, tindakan korupsi nyatanya bisa ditekan dengan penegakan hukum yang kuat.
Ong Hok Ham dalam bukunya, Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara, menuliskan, sejak masa prakolonial, raja memberikan wewenang kepada para pejabatnya untuk menarik upeti dari rakyat. Tak jarang, para pejabat di banyak wilayah menyalahgunakan wewenang tersebut.
Di Kerajaan Majapahit, Mataram, dan lainnya, bupati memiliki wewenang menarik upeti dan diberikan kepada raja dengan alasan yang sering kali bias. Bisa untuk keperluan peperangan dan kesejahteraan atau untuk menunjukkan kewibawaannya di kerajaan dan kesenangannya sendiri, seperti memperbanyak istri atau kaputren besar.
Ong menguraikan, hal itu karena masyarakat menganggap pungutan yang dilakukan pejabat adalah hal lumrah yang dikehendaki oleh raja. Sementara itu, kontrol raja terhadap pejabatnya ternyata tidak kuat. Tak ayal, banyak pejabat yang bahkan memiliki kekayaan dan kekuatan melebihi rajanya.
Contohnya, para penguasa di pesisir Sumatera Barat ternyata lebih berkuasa dari Maharaja Yang Tuan Sakti sebagai Raja Pagar Uyong pada abad ke-17. Hal yang sama dialami oleh Dewa Agung Klungkung di Bali, yang juga merupakan maharaja.
Raja terpaksa memberikan wewenang tersebut kepada para pejabatnya sebagai ganti dari upah yang tak mampu dibayarkan. Tanpa disadari, hal tersebut ternyata memberi peluang kepada para pejabat untuk mengambil keuntungan pribadi.
Guru Besar Sastra Arab dan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil mengatakan, hal itu melahirkan sebuah patrimonialisme, di mana kekayaan negara dan pribadi susah untuk dipisahkan.
”Jangankan harta, masyarakat saja menjadi miliknya,” kata Sukron saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Pada konteks masa kini, Sukron mengaitkan hal tersebut dengan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah belakangan ini. Mereka cenderung mengambil keuntungan dari investor yang ingin berinvestasi di wilayahnya.
”Mereka menganggap wilayah itu menjadi bagian dari harta mereka,” kata Sukron.
Pemberantasan
Peristiwa Lebak tahun 1850 yang melibatkan konflik antara Asisten Residen Lebak Douwes Dekker dan Bupati Lebak PA Kartanegara menjadi salah satu contoh upaya pemberantasan korupsi masa kolonial. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1830-1942).
Sartono Kartodirdjo dalam Sejak Indische sampai Indonesia menguraikan bahwa Dekker, sebagai pegawai pamong praja kolonial Hindia Belanda, melihat ada praktik korupsi saat Kartanegara memerintah.
Saat bupati akan menggelar suatu acara, berbagai macam sumbangan dari rakyat, seperti hasil bumi dan ternak, akan mengalir kepadanya. Menurut Dekker, sumbangan itu semua adalah pungutan yang tidak sah. Tak hanya memperingatkan bupati, Dekker bahkan mengusulkan pemecatannya kepada pemerintah Hindia Belanda.
Akar feodal
Sartono mengungkapkan, Kartanegara sendiri tidak merasa bersalah lantaran konsep kekuasaannya berakar pada lingkungan feodal. Ia menganggap wajar apabila bupati selaku penguasa menerima bermacam-macam upeti.
Menurut Sukron, feodalisme hingga saat ini masih tertanam dalam diri seorang pejabat di pemerintahan. Seorang pejabat dianggap harus memiliki kekayaan sebagai ukuran kesuksesannya.
Jika zaman dulu, pemakaian batik saja harus diatur. Sekarang, tingkatan sosial pejabat harus terlihat berbeda, mulai dari baju, mobil, dan rumah.
”Ini sebanding dengan faktor sosial lingkungan koruptif. Banyak orang yang saat kuliah bersih, tetapi begitu menjadi pejabat ikut kotor pula,” ujar Sukron.
Sistem feodalisme yang dianut para penguasa pribumi tersebut kemudian dimanfaatkan pemerintah Hindia Belanda untuk memuluskan kapitalisme mereka. Hal itu pula yang menyebabkan Dekker ditarik dari Lebak.
Penimbun kekayaan
Meski begitu, Ong memandang para pejabat pemerintah Hindia Belanda relatif lebih baik dibandingkan Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC), yang bubar tahun 1799 karena praksis korup yang parah. Padahal, baik VOC maupun pemerintah Hindia Belanda sama-sama berisikan orang-orang yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari Nusantara.
Dari dua contoh berbeda antara pemerintahan VOC dan Hindia Belanda tersebut, Ong menyimpulkan bahwa pungutan bukanlah ciri sebuah bangsa. Tetapi jauh di dalamnya dipengaruhi oleh penguasa, struktur finansial, dan lainnya. Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar penimbun kekayaan.
Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Hamdan Tri Atmaja berpendapat, pemerintah Hindia Belanda bisa menjadi contoh membentuk pemerintahan yang bersih. Penegakan hukum yang kuat cenderung menghindarkan tindakan-tindakan koruptif di kalangan pejabatnya.
”Kolonial itu disiplin sehingga peluang orang korupsi menjadi kecil,” ujarnya saat dihubungi.
Perilaku koruptif pejabat pemerintahan yang terjadi sejak zaman penjajahan ternyata masih berlanjut sampai kini. Sudah sepatutnya para pemegang amanah tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menyelewengkan uang negara.
Penegakan hukum yang tegas dan pengelolaan keuangan negara yang transparan turut menjadi kunci pemberantasan korupsi. Jadi para kepala daerah, jadilah pelayan publik yang tidak korup dan bekerja sepenuh hati menyejahterakan rakyat. (FAJAR RAMADHAN)