Pemerintah Baru Sebatas Memadamkan Kebakaran Lahan
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·4 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS - Terbebasnya wilayah Riau dari bencana asap selama tiga tahun terakhir belum dapat disebutkan sebagai keberhasilan. Pemerintah baru sibuk melakukan pemadaman kebakaran dengan biaya besar, namun minim mengupayakan perbaikan tata kelola lingkungan. Bila tidak dilakukan perbaikan menyeluruh, bencana asap sewaktu-waktu dapat muncul kembali.
Demikian benang merah dalam diskusi "Keberpihakan Politik dalam Refleksi 2018 dan Harapan 2019, Perjuangan keadilan Ekologis di Riau" yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia wilayah Riau, di Pekanbaru, Jumat (25/1/2019).
“Dari satu sisi Riau memang mampu terbebas dari bencana asap. Namun itu disebabkan dana besar pemadaman saja. Tata kelola lingkungan belum berubah. Seluas 1,5 juta lahan gambut Riau masih rusak dan sebanyak 300 konflik pertanahan masih terjadi sepanjang 2018. Perlu upaya luar biasa dan sistematis agar konflik lahan diselesaikan, kesenjangan pengelolaan lahan diperkecil dan pemulihan lingkungan rusak dilakukan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Rico Kurniawan.
Perlu upaya luar biasa dan sistematis agar konflik lahan diselesaikan, kesenjangan pengelolaan lahan diperkecil dan pemulihan lingkungan rusak dilakukan.
Rico mencontohkan, pengembalian lahan eks PT LUM di Kabupaten Kepulauan Meranti, untuk dikelola rakyat ternyata sangat berhasil menekan kebakaran lahan. Masyarakat kemudian menanam sagu yang kemudian mampu meningkatkan taraf hidup dan mengurangi kemiskinan. Kebakaran masif pada tahun 2013-2015 di Meranti, menciut, disaat warga diberi hak kelola lahan dalam skema perhutanan sosial.
Menurut Rico, peristiwa kebakaran lahan di Riau, umumnya diawali perambahan areal hutan oleh cukong yang berlindung di balik rakyat jelata. Karena tidak mungkin rakyat kecil mampu membuka lahan seluas ratusan sampai 1.000 hektar. Semestinya pemerintah mengadili para cukong. Adapun areal perambahan dikembalikan fungsinya dengan memberikan akses kelola kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial.
Sayangnya, tambah Rico, janji pemerintah untuk memberikan hak kelola lahan perhutanan sosial seluas 1,4 juta hektar di Riau, berjalan tersendat. Sampai saat ini, luas areal yang dikelola mayarakat hanya mencapai 60.000 hektar saja, atau tidak sampai 5 persen dari janji pemerintah.
Administrasi perhutanan sosial di Riau, semakin menyulitkan tatkala Peraturan Daerah Riau mewajibkan rekomendasi permohonan perhutanan sosial harus melalui mekanisme politik di DPRD. “Akibatnya di tahun 2018, permohonan perhutanan sosial seluas 200.000 hektar, seluruhnya belum diakomodasi,” kata Rico.
Rico menambahkan, perusahaan pemilik konsesi yang lahannya pernah terbakar juga tidak pernah jera. Berdasarkan pengamatan Walhi, setidaknya ada empat perusahaan bermasalah (terbakar) pada beberapa tahun lalu, lahannya kembali terbakar pada tahun 2018. Ada pula perambah yang sudah dihukum dalam kasus perambahan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, kembali merambah dengan skala lebih luas dari sebelumnya di lokasi berdekatan.
“Penegakan hukum belum memberikan efek jera. Polisi hanya menangkap masyarakat kecil,” ujar Rico.
Danang dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau mengakui, administrasi permohonan perhutanan sosial cukup rumit. Izin kelola berada di pusat, sementara daerah hanya mendukung verifikasi lahan.
“Proses verifikasi juga tidak gampang. Selalu ada konflik kepentingan di wilayah yang verifikasi. Makanya kami setuju, proses rekomendasi perhutanan sosial dibawa ke dewan (DPRD Riau),” kata Danang.
Menurut Danang, di Riau sudah ada hak kelola perhutanan sosial seluas 70.000 hektar dengan skema hutan desa, hutan tanaman rakyat atau hutan kemasyarakatan. Daripada meributkan luas lahan yang tidak sampai 1,4 juta hektar, lebih baik pihak terkait memfokuskan diri membantu kesulitan masyarakat yang sudah mendapatkan hak dimaksud untuk pengelolaan .
“Kami akui, perhutanan sosial belum optimal, namun kami sudah berusaha. Sekarang ada lahan 70.000 hektar yang dapat dikelola warga, namun masyarakat mengalami kesulitan. Kita dapat membantu dalam dokumen perencanaan. Hutan sosial juga butuh dana pengelolaan,” kata Danang.
Kepala Sub Direktorat IV Direktorat Reserse Khusus Polda Riau, Ajun Komisaris Besar Darmawan mengakui, sepanjang 2018, pihaknya memang hanya memproses kebakaran lahan yang melibatkan rakyat perorangan atau bukan korporasi. Jumlah tersangka mencapai 35 orang dari 29 kasus yang diperiksa. Seluruh kasus itu, kini sudah siap untuk disidangkan.
“Tidak gampang untuk menyidik kasus korporasi. Proses tindak pidana harus dapat dihubungkan dengan pembuktian. Kami tidak dapat berandai-andai hanya dengan informasi yang tidak dapat dibuktikan,” kata Darmawan.
Paradigma baru
Budayawan Riau Al Azhar mengungkapkan, persoalan tata kelola lingkungan di Riau tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Diperlukan paradigma baru dari orang-orang muda yang memandang sumber daya alam bukan lagi sekadar sumber nafkah semata.
“Generasi terdahulu gagal mengelola lingkungan karena semuanya serakah. Mereka memandang sumber daya alam sebagai sumber nafkah diraup dengan keserakahan. Alam semestinya menjadi berkah bersama. Alam terjaga dan lingkungan terbenahi. Hanya generasi mendatang yang dapat melakukannya,” ujar Al Azhar, yang juga Ketua Lembaga Adat Melayu Riau itu.
Generasi terdahulu gagal mengelola lingkungan karena semuanya serakah.