JAKARTA, KOMPAS – Korupsi yang masih dilakukan pejabat publik dinilai merupakan akibat dari timpangnya frekuensi penindakan dibandingkan dengan pencegahan. Perbaikan sistem penyelenggaraan negara yang lebih efektif, serta pemberian hukuman yang lebih berat merupakan beberapa solusi yang dinilai dapat menghilangkan praktik koruptif pejabat publik.
Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) Arie Sujito menilai tata kelola pemerintahan di Indonesia masih rentan terhadap praktik korupsi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah pejabat pemerintahan, dari kepala daerah, penegak hukum, anggota DPR hingga pimpinan lembaga negara membuktikan hal tersebut.
Menurut Arie dalam kerangka besar pemberantasan korupsi di Indonesia, intensitas OTT KPK yang termasuk dalam penindakan masih bergerak lebih cepat, bila dibandingkan dengan perbaikan regulasi dan peraturan negara yang termasuk dalam pencegahan tindak korupsi. Padahal, kedua hal tersebut perlu dijalankan secara beriringan agar perilaku koruptif pejabat dapat dihilangkan.
Ketidakselarasan ini mengakibatkan lambannya pemulihan keadaan tata kekuasaan sehingga praktik korupsi seperti penyogokan atau suap masih banyak ditemukan. “Hukuman seberat apapun yang diberikan pada koruptor, kalau sistemnya tidak dibenahi pasti (korupsi) masih akan terus terjadi,” katanya saat dihubungi.
Sementara itu,Sosiolog Universitas Indonesia Imam B Prasodjo menuturkan, budaya korupsi di Indonesia merupakan konsekuensi dari sistem mahar politik dalam kontestasi pilkada. Mahar tersebut merupakan modal yang diperlukan seorang yang ingin menduduki sebuah posisi kekuasaan guna memperoleh dukungan dari partai politik maupun tokoh masyarakat setempat.
Setelah memenangkan sebuah kontestasi pilkada, maka seorang calon kepala daerah dituntut harus mengembalikan modal tersebut kepada pihak pemberi. Di sisi lain, penghasilan resmi sebagai kepala daerah tak bakal mencukupi biaya politik yang dikeluarkan saat mengikuti kontestasi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara “utang” politik dan kemampuan untuk melunasi utang tersebut.
“Akibatnya, ia terdorong melakukan tindakan-tindakan ilegal (illegitimate means) seperti memungut biaya dari sebuah mekanisme yang berada dalam kewenangan jabatan barunya,” jelas Imam.
Arie menuturkan, untuk memberantas budaya korupsi di Indonesia, perbaikan regulasi dan sistem pengawasan oleh KPK perlu dilakukan. Lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hingga KPK perlu memulai pengawasan sejak tahap perencanaan, penganggaran, implementasi, hingga evaluasi. Dengan begitu, setiap tahap penyelenggaraan negara dapat dipertanggung jawabkan secara transparan.
Hal serupa juga dikatakan Imam. Menurutnya, sistem-sistem negara yang rentan menjadi lahan korupsi seperti perizinan harus diperbaiki. Bentuk revisi tersebut contohnya adalah penyederhanaan prosedur pengajuan izin.
Mekanisme perizinan yang berbelit bisa dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk keuntungannya sendiri dengan iming-iming hasil yang lebih cepat daripada jalur legal.
“KPK harus mengerahkan sumber daya yang seimbang baik dalam upaya pencegahan maupun penindakan,” tambah Arie.
Perberat hukuman
Selain itu, masyarakat memiliki peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Masyarakat, baik individu ataupun kelompok seperti LSM perlu membudayakan kerjasama dengan tujuan yang positif seperti pengawasan berbasis komunitas.
Mereka juga dibutuhkan dalam mengawal proses peradilan sebuah kasus korupsi agar perkara tersebut tidak tenggelam begitu saja setelah ada kasus yang lebih baru melalui diskusi ataupun kajian-kajian tentang korupsi.
Imam menambahkan, perlu ada pemberian hukuman yang lebih berat baik kepada pihak penerima maupun pihak pemberi. Ia mengatakan, vonis berat tindak pidana korupsi mayoritas hanya dijatuhkan pada pihak penerima.
Menurutnya, peraturan yang mengatur vonis lebih berat kepada pihak pemberi dapat memberi efek jera yang lebih kuat. Vonis hukuman yang lebih berat kepada pemberi suap akan membuat individu atau perusahaan yang hendak melakukan tindakan korupsi kepada pejabat berpikir dua kali.
“Contoh hukuman kepada pihak pemberi suap seperti pemiskinan untuk individu atau pembangkrutan hingga penutupan usaha bagi sebuah badan usaha,” ungkap Imam. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)