Wajah lembut itu ternyata menyimpan rahasia besar. Selama ini, Rustam (15) mengenal dan menyayangi BJ (42) bagaikan ayahnya sendiri. Namun lelaki itu ternyata berubah menjadi monster bagi anak-anak.
Lima tahun terakhir, BJ satu-satunya pengasuh asrama laki-laki di salah satu sekolah luar biasa di Muara Sabak, ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur, itu. Lulusan SMA asal Kampung Laut di pesisir timur Jambi tersebut selama ini dikenal baik dan pemurah. Ia pun kerap menjadi tempat anak-anak mengadu.
Asrama yang berada dalam sekolah itu dihuni 20 siswa laki-laki yang berasal dari daerah pelosok. Sehari-hari, BJ-lah yang mengurus segala kebutuhan mereka di luar kelas. Saking dekatnya, ia juga tidur satu ruangan bersama anak-anak. Dalam ruangan berukuran 8 meter x 12 meter itu, berjejer 10 tempat tidur bertingkat.
Meski tak pernah melihat wajah BJ, Rustam, siswa SLB penyandang tunanetra, menaruh hormat kepadanya. Sebab, BJ kerap melatihnya bermain musik. Belakangan, mereka membentuk grup band. Rustam jadi vokalis, sedangkan BJ menabuh drum. Mereka kerap manggung bersama dalam acara kondangan di desa-desa.
Namun, kedekatan dengan anak-anak bisa jadi dipandang berbeda oleh BJ. Sejak 2017, ia mulai menunjukkan kecenderungan lain. Ketika suasana dalam asrama sepi atau sebagian besar anak sudah tertidur pulas, ia dekati salah satu anak, melakukan kekerasan seksual.
Kekerasan seksual pada anak-anak yang akhirnya terbongkar akhir pekan lalu itu diperkirakan sudah berulang dan memakan korban hingga 8 anak.
Malam itu, semua anak sudah lelap. Tiba-tiba terdengar teriakan dari salah satu anak sehingga membangunkan anak-anak lain. Mereka bingung. Tak mengerti apa yang tengah terjadi. Sementara anak yang didekati BJ ketakutan.
Esok paginya, anak itu langsung mengadu kepada guru kelas. Gegerlah para guru. Hampir tak percaya.
Kepala sekolah Nur Aida berinisiatif mengumpulkan semua siswa. Satu per satu ditanyai. Ternyata korbannya tak hanya satu, tetapi 8 orang. Sebagian besar korbannya berusia 10-14 tahun. Semuanya laki-laki.
BJ langsung diinterogasi. Namun, ia tak juga mengaku. Akhirnya, ia digelandang ke tahanan Kepolisian Resor Tanjung Jabung Timur.
”Sekarang sudah tenang. Tidak ada lagi yang akan ganggu teman-teman,” kata Rustam.
Orangtua salah satu korban, Kasmiah, menangis saat Nur Aida mengumpulkan para orangtua ke sekolah untuk memberi tahu perbuatan BJ. Meski Aida sudah berupaya meyakinkan bahwa BJ telah masuk sel tahanan, Kasmiah tak mampu mengusir sedihnya.
Seusai pertemuan, ia pun berlalu menuju asrama tempat anaknya menginap. Beberapa kali Kasmiah keluar masuk ruangan asrama dengan wajah gelisah. Agak lama barulah ia mulai tampak tenang.
Kasmiah berharap pengawasan pihak sekolah bisa lebih ditingkatkan. Para orangtua tak ingin tragedi itu terulang kembali.
Perlindungan ekstra
Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Tanjung Jabung Timur Muhammad Ridwan mengatakan, pengawasan oleh pihak sekolah harus ditingkatkan. Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus memerlukan perlindungan ekstra.
Dalam pertemuan itu, ia juga mengingatkan soal perlunya berwaspada. Dari kecil, anak sudah harus diajarkan menyadari bahwa ancaman kekerasan seksual bisa ada dimana-mana. ”Mereka perlu sejak dini diajarkan cara bertindak menghadapi ancaman kekerasan seksual,” katanya.
Direktur Beranda Perempuan, lembaga advokasi masalah perempuan dan anak di Jambi, Zubaidah, mengingatkan pentingnya penanganan inklusif bagi anak-anak, khususnya mereka yang berkebutuhan khusus. Selama ini, pihaknya mendapati anak-anak penyandang disabilitas dan anak-anak dari keluarga tak mampu teridentifikasi sebagai kelompok yang rentan mengalami tekanan. Kekerasan seksual adalah salah satunya.
Dibandingkan anak-anak lain, anak berkebutuhan khusus bahkan berisiko dua kali lebih terpapar kekerasan seksual. ”Karena itulah pendekatan khusus diperlukan bagi mereka,” ujarnya.
Helfi Rahmawati, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jambi, menambahkan, pencegahan dan penegakan hukum lewat rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual sudah darurat untuk disahkan. ”Agar pelaku mendapatkan hukuman maksimal, memberikan efek jera, dan memberi perlindungan bagi korban,” katanya.
Pendidikan kesehatan reproduksi juga didorong diberikan kepada anak ataupun orangtuanya. Mereka perlu mengenal apa saja yang termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual sehingga mengantisipasinya sejak awal.
Ia pun mendorong para korban mendapatkan penanganan serius. Jangan sampai kekerasan seksual merusak masa depan mereka. Inilah saatnya memupus trauma itu dari balik asrama.