Peredaran Dikendalikan dari Penjara, Integritas Aparat Dipertanyakan
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah pihak mempertanyakan integritas aparat menyusul kembali terungkapnya jaringan narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara. Penyelidikan lanjutan yang mendalam dan transparan dinanti publik untuk mengungkap kasus itu hingga tuntas.
Badan Narkotika Nasional menyita narkoba jenis sabu seberat 25 kilogram yang dikendalikan Ramli, narapidana kasus narkoba di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Sabu tersebut akan diedarkan di wilayah Medan dan wilayah Sumatera Utara lainnya.
Berdasarkan catatan Kompas, kasus peredaran narkoba yang dikendalikan dari dalam LP pertama kali diberitakan harian ini pada tahun 1971 dengan judul Masalah Narkotika Harus Segera Ditangani Sebelum Tjapai Stadium Jang Serius. Masalah itu, 48 tahun kemudian, masih juga terjadi dan belum dapat dicegah hingga kini.
Wakil Direktur Center for Detention Studies, Gatot Goey, mengatakan, integritas aparat di penjara yang lemah menjadi penyebab utama kasus pengedaran narkoba dari dalam LP masih terus ditemukan.
“Seketat apa pun sistem pengawasan dirancang jika para petugas di lapangan tidak memiliki integritas yang tinggi pasti tetap akan ada celah yang tercipta,” ujarnya, Kamis (24/1/2019).
Seketat apa pun sistem pengawasan dirancang jika para petugas di lapangan tidak memiliki integritas yang tinggi pasti tetap akan ada celah yang tercipta.
Kepala Humas BNN Komisaris Besar Sulistiandriatmoko, mengemukakan, penangkapan tersebut merupakan pengembangan dari penyitaan sabu 70 bungkus dan ekstasi dua bungkus dengan berat 72 kg yang dikendalikan oleh Ramli pada pekan lalu.
Kejadian tersebut disesalkan banyak pihak mengingat sudah sejak lama LP diketahui sebagai salah satu pusat komando pengedaran narkoba di Indonesia. Data BNN pada 2017 menyebutkan lebih dari 50 persen praktik peredaran narkoba yang ada di Indonesia dikendalikan dari dalam penjara.
Cerita lama
Yang tentu masih lekat di ingatan publik adalah polemik Freddy Budiman, terpidana mati karena impor 1,4 juta pil ekstasi dari Tiongkok. Sebelum dieksekusi mati pada Juli 2016, Freddy menyampaikan kepada aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar, tentang keterlibatan aparat kepolisian, BNN, dan TNI dalam kasus narkotika.
Di dalam pengakuannya kepada Haris, Freddy mengatakan, selama bertahun-tahun ia memberikan keuntungan Rp 450 miliar kepada BNN, dan memberikan Rp 90 miliar kepada pejabat tertentu di Polri. Ia mengaku kerap dititipi harga narkotika oleh aparat polisi, TNI, dan bea cukai (Kompas, 7/8/2016).
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mensinyalir, praktik korupsi di dalam penjara merupakan penyebab maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Menurut catatan ICW, sejak tahun 2011 hingga 2017 terdapat sedikitnya 14 oknum aparat di penjara yang diduga menerima suap dari bandar atau terlibat dalam peredaran narkoba.
Praktik korupsi di dalam penjara merupakan penyebab maraknya peredaran narkoba di Indonesia.
Oleh karena itu, Emerson berpendapat, pada aspek pencegahan, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola dan kesejahteraan petugas penjara agar tak tergoda usaha suap. Inspeksi mendadak dan rotasi petugas penjara juga harus rutin dilakukan.
Dalam usaha pencegahan itu, usaha pengawasan harus dijalankan dengan ketat. Fungsi pengawasan jajaran inspektorat dan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) perlu terus diperkuat.
Tanpa toleransi
Selain itu, menurut Emerson, Kemenkumham sebaiknya menerapkan zona tanpa toleransi terhadap praktik korupsi di lingkungan penjara. Selama ini, sanksi yang diterapkan pada petugas penjara yang terindikasi terlibat suap belum cukup tegas dan memicu timbulnya efek jera.
“Integritas, pengawasan, dan sanksi merupakan tiga hal yang mendesak untuk segera dibenahi pada tata kelola penjara di negara ini. Dalam setiap kasus pengedaran narkoba yang dikendalikan dari penjara sudah pasti ada unsur petugas penjara yang terlibat,” ujar Emerson.
Setali tiga uang, Gatot juga menyatakan, fungsi penjara sebagai tempat bagi narapidana, terutama bandar narkoba, memperbaiki diri saat ini belum terlaksana. Di dalam penjara, yang terjadi justru sebaliknya, mereka memperoleh jaminan menjalankan bisnis narkoba dengan aman tanpa perlu takut diringkus.
Fungsi penjara sebagai tempat bagi narapidana, terutama bandar narkoba, memperbaiki diri saat ini belum terlaksana. Mereka justru memperoleh jaminan menjalankan bisnis narkoba dengan aman tanpa perlu takut diringkus.
Ia menjelaskan, seharusnya bandar narkoba itu di tempatkan di empat LP khusus yang telah disediakan yaitu, LP Gunung Sindur di Jawa Barat, LP Langkat di Sumatera Utara, LP Batu di Nusakambangan, dan LP Asongan di Kalimantan Tengah.
“Yang dipindahkan ke LP khusus itu justru para tahanan yang dirasa tidak kooperatif dengan para pegawai LP. Para bandar narkoba besar justru tetap dipertahankan di LP umum agar bisa menghasilkan uang bagi para pegawai LP,” kata Gatot. (PANDU WIYOGA)