Memori Kelam Dunia Sepak Bola dengan ”Burung Raksasa”
”Yang terakhir, selamat tinggal,” tulis Emiliano Sala pada unggahan foto Instagram terakhirnya saat pamit kepada rekan setim di Nantes FC. Sehari setelah unggahan itu, Sala yang hendak bergabung ke tim barunya, Cardiff City, dinyatakan berada di dalam pesawat yang hilang di Selat Inggris.
Sala baru saja menyelesaikan transfer dari Nantes ke Cardiff dengan mahar 15 juta pounsterling atau Rp 276 miliar pada Sabtu lalu. Setelah resmi menandatangani kontrak, pemain asal Argentina itu kembali ke Nantes, Perancis, untuk mengucapkan perpisahan kepada rekan setimnya.
Saat akan kembali ke kota Cardiff, Wales, Senin (21/1/2019), pesawat jet kecil Piper PA-46 yang ditumpanginya hilang kontak di sekitar perairan Pulau Guernsey di Selat Inggris. Pesawat berangkat pada pukul 19.15 kemudian hilang dari radar pukul 20.30 waktu setempat.
Sampai saat ini, Selasa (22/1/2019) pukul 16.30 setempat, pihak Kepolisian Guernsey masih mencari pesawat tersebut menggunakan dua kapal dan lima pesawat. Belum ada tanda-tanda keberadaan pesawat yang membawa Sala itu.
Kabar hilangnya pesawat mengejutkan keluarga sang pemain. Ayah Sala, Horacio, sangat khawatir dan tidak bisa berbicara banyak tentang kejadian yang menimpa anaknya. ”Saya tidak tahu apa pun. Saya sedang berada di Argentina. Terakhir kali saya berbicara dengan Emiliano pada hari Minggu (20/1/2019),” tuturnya.
Saat akan kembali ke kota Cardiff, Wales, Senin (21/1/2019), pesawat jet kecil Piper PA-46 yang ditumpangi Emiliano hilang kontak di sekitar perairan Pulau Guernsey di Selat Inggris.
Pihak Cardiff juga terkejut. Kepala Eksekutif Cardiff Ken Choo menjelaskan, pemain baru mereka itu memang dijadwalkan hadir Senin untuk memulai latihan.
”Tetapi hal itu terjadi. Kami sangat terkejut saat ini. Semua orang sekarang sedang mendoakan yang terbaik untuknya. Semoga semua bisa lebih kuat menghadapi cobaan ini,” ujar Ken.
Sala merupakan penyerang berbakat yang sudah mencetak 12 gol musim ini di Ligue 1. Catatannya hanya di bawah Kylian Mbappe (17 gol) dan Edinson Cavani (14 gol). Performa menjanjikan bersama klub yang dibela sejak 2016 tersebut membuat klub-klub Eropa dan Asia mengincar jasanya.
Baca juga: Pemain Termahal Cardiff City Hilang di Selat Inggris
Sebelum memutuskan bergabung bersama Cardiff, Sala menolak tawaran uang besar dari Liga China. Dia mengaku lebih tertarik mewujudkan mimpinya bermain dalam liga terbaik di dunia, Liga Primer Inggris.
”Saya sudah tidak sabar berlatih, bertemu teman baru, dan bekerja keras di sana. Sesuatu yang amat spesial untuk saya karena memecahkan rekor pembelian Cardiff. Saya bertekad membantu tim menjadi lebih baik,” kata pemain yang memulai karier di Bordeaux itu sebelum dinyatakan hilang.
Kabar hilangnya Sala mengguncang dunia sepak bola. Dukungan moril datang langsung dari Pelatih Manchester City Pep Guardiola, pengamat sepak bola Gary Lineker, dan klub Perancis, Lyon. Sementara itu, ratusan penggemar Cardiff mulai berdatangan ke Stadion Cardiff City. Mereka mendukung dengan menaruh berbagai jenis bunga sambil berharap ada kabar baik dari Sala.
Burung raksasa
Sebelum Sala, sudah beberapa kali terjadi tragedi kecelakaan ”burung raksasa” atau pesawat terbang yang melibatkan pemain sepak bola. Masih lekat di ingatan saat 22 pemain dan ofisial tim asal Brasil, Chapecoense, menjadi korban kecelakaan pesawat pada November 2016.
Kala itu, pesawat Lamia 933 membawa Chapecoense ke Kolombia untuk menjalani laga pertama final Copa Sudamerikana melawan Atletico National. Namun, pesawat yang landas dari Santa Kruz, Bolivia, itu kehabisan bensin sebelum mencapai tujuan di Medelin, Kolombia.
Masih lekat di ingatan saat 22 pemain dan ofisial tim asal Brasil Chapecoense menjadi korban kecelakaan pesawat pada November 2016.
Akibatnya, pesawat kehilangan kontrol dan menabrak pegunungan tepat 8 kilometer sebelum mencapai tujuan. Kecelakaan itu mengakibatkan 71 orang meninggal, di antaranya terdapat 19 pemain dan ofisial Chapecoense serta 21 jurnalis.
Hanya tiga pemain Chapecoense, Alan Ruschel, Helio Zemper Neto, dan Jason Follman, yang selamat. Ketiganya mengalami patah tulang. Ruschel dan Neto berhasil pulih total, sedangkan Follman harus menjalani amputasi kaki kanan.
Setahun setelah kejadian, Ruschel, Neto, dan Follman bersedia menceritakan kisah kecelakaan tersebut. Follman mengawali cerita. Menurut dia, semua berjalan normal hari itu. Dia dan rekan-rekan lain seperti biasa bermain kartu dan memutar musik selama di pesawat.
”Sampai ketika semua lampu padam. Semua penumpang tiba-tiba diam. Kami penasaran apa yang terjadi. Lalu, pramugari dalam sekejap meminta kami segera memakan sabuk pengaman,” kata kiper cadangan Chapecoense itu.
Pengumuman pramugari sangat tenang, tidak menggunakan alat pengeras suara. Namun, setelah itu petaka terjadi. Pesawat mulai terjun bebas. Tawa di dalam pesawat mendadak berubah menjadi situasi mencekam penuh teriakan.
”Saya terus berdoa saat itu, berharap ada keajaibaan meskipun mustahil. Saya meminta tolong agar kami semua diselamatkan. Hanya itu yang bisa saya lakukan,” kata Neto.
Setelah menabrak pegunungan, area dalam pesawat gelap total. ”Di situlah momen terberat. Saya mendengar teman-teman meminta bantuan tetapi tidak bisa melakukan apa pun. Tidak bisa melihat dan berdiri,” ujar Follman.
Tragedi itu menyisakan duka luar biasa bagi dunia sepak bola. Ucapan duka berdatangan dari nyaris seluruh pendukung, pemain, pelatih, dan tim di belahan dunia.
Duka juga dirasakan lawan mereka di final, Atletico National. Setelah kecelakaan, mereka meminta Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan (Conmebol) untuk memberikan trofil Copa Sudamericana kepada Chapecoense.
Lebih jauh lagi, kecelakaan pesawat pernah memakan korban generasi emas Manchester United ”Busby Babes”. Sebelas pemain dan ofisial United karena pesawat gagal lepas landas pada 1958 di Muenchen, Jerman.
Kecelakaan pesawat juga pernah memakan korban generasi emas Manchester United ’Busby Babes’.
Kala itu, tim United hendak pulang setelah melakoni laga Piala Eropa melawan Red Star Belgrade. Pesawat berangkat dari Yugoslavia menuju Manchester. Pesawat itu berhenti untuk mengisi ulang bahan bakar di Muenchen, tetapi gagal lepas landas yang mengakibatkan kecelakaan.
Empat tahun setelah kejadian, United kembali berjaya lewat ”Busty Babes Generasi II”. Pelatih United Matt Busby dan pemain andalan, Bobby Charlton, yang menjadi penyintas, memimpin klub menjuarai Piala FA 1962, Liga Inggris 1964/1965 dan 1966/1967, serta Liga Champions 1968.
Hingga kini, tragedi itu masih dikenang setiap tahunnya pada 6 Februari. Dalam ritual tahunan itu, pemain dan penggemar United selalu melakukan aksi diam satu menit sebelum pertandingan. Ada juga spanduk besar bertuliskan ”kami tidak akan pernah mati”.
Transportasi udara memang sudah menjadi bagian dari kehidupan pesepak bola. Suka atau tidak, mereka harus naik pesawat setiap menjalani partai tandang, khususnya di laga Eropa. Terkadang mereka harus tiga kali pulang pergi dalam rentang 10 hari.
Di dalam rutinitas itu pula, kecelakaan mengintai mereka. Data The Guardian menyebutkan, peluang pesawat mengalami kecelekaan fatal adalah 1 banding 2 juta lebih penerbangan. Meski sangat kecil, kemungkinan itu ada.
Tak ayal, pemain sepak bola terkadang naik pesawat dalam ketakutan. Seperti Dennis Bergkamp, legenda Arsenal dan timnas Belanda yang fobia pada penerbangan.
Dalam buku otobiografinya, Stillness and Speed, dia merelakan gaji awalnya di Arsenal dikurangi 100.000 pound sterling atau sekitar Rp 1,8 miliar karena tidak ingin naik burung raksasa. Hal itu membuatnya banyak absen di laga tandang pertandingan Eropa pada awal kariernya.
”Saya meminta 1 juta pound sterling, tetapi mereka menawar 100.000 poundsterling karena saya tidak naik pesawat. Tanpa basa-basi, saya menerima tawaran itu,” kata pemain berjuluk ”The Non-Flying Dutchman”. (AP/AFP/REUTERS)