Trans-Jogja Belum Jadi Prioritas di Jalan Raya
Trans-Jogja di DI Yogyakarta belum diprioritaskan sebagai angkutan umum massal berbasis transit di jalan raya. Angkutan itu masih harus bersaing dan terjebak kemacetan bersama kendaraan bermotor pribadi lainnya. Padahal, angkutan itu diharapkan bisa berjalan cepat karena ada standar interval waktu yang diterapkan.
Bus tersebut tak bisa melaju cepat. Trans-Jogja tampak tak bisa melaju meski sudah menyalakan lampu sen untuk berbelok ke kiri di persimpangan antara Jalan Affandi dan Jalan Colombo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (18/1/2019). Di persimpangan itu sebenarnya kendaraan bisa langsung berbelok ke kiri.
Namun, bus tersebut terhenti karena ada mobil yang hendak berbelok ke kanan, tetapi terhenti karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Antrean lampu merah juga mengular panjang sekitar 20 meter di persimpangan itu.
Trans-Jogja itu baru bisa berjalan lagi sekitar satu menit setelahnya, setelah lampu hijau menyala. Saat berbelok, bus tersebut juga harus sangat berhati-hati agar tak menyenggol kendaraan bermotor lain yang berbagi jalan bersamanya.
Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DIY Sumaryoto mengakui, pemberlakuan Trans-Jogja sebagai angkutan massal berbasis transit memang masih belum optimal. Hal yang belum dapat dipenuhi adalah memberikan jalur khusus bagi angkutan itu agar lajunya bisa lebih lancar.
”Syarat angkutan berbasis rapid transit itu syaratnya ada jalur, pemberhentian khusus, dan cara pembayaran yang berbeda. Yang tidak bisa kami penuhi adalah jalur khusus. Kami belum punya jalur sendiri (untuk bus),” kata Sumaryoto.
Padahal, ada interval waktu yang harus dipenuhi oleh Trans-Jogja, yakni setiap 15 menit. Seharusnya ada satu bus yang menjemput penumpang setiap 15 menit, di setiap halte. Namun, hal itu sulit dilakukan karena angkutan itu tidak mempunyai jalur khusus yang membuat lajunya lebih cepat dibandingkan kendaraan bermotor lainnya.
Hal itu disebabkan oleh sebagian besar jalan yang dilalui angkutan itu yang hanya terdiri dari dua lajur. Di sisi lain, minat masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi masih lebih tinggi.
”Mungkin itu sebenarnya yang membuat masyarakat belum tertarik buat naik (Trans-Jogja). Sebab, kalau jalanan macet, Trans-Jogja ikut kena macet,” kata Sumaryoto.
Sumaryoto menambahkan, mulai Januari 2019 Trans-Jogja yang sebelumnya dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Trans-Jogja Dishub DIY diserahkan kepada perusahaan di luar dinas dengan mekanisme penugasan. Harapannya, pengelolaan bisa menjadi lebih optimal karena biaya pendapatan dan pengoperasian dikelola langsung oleh pihak perusahaan. Dishub DIY hanya bertugas untuk mengawasinya.
Mungkin itu sebenarnya yang membuat masyarakat belum tertarik buat naik (Trans-Jogja). Sebab, kalau jalanan macet, Trans-Jogja ikut kena macet,” kata Sumaryoto.
”Yang jadi pegangan kami dalam mengawasi adalah masyarakat harus dilayani dengan baik sesuai dengan jalurnya, jadwalnya, kualitasnya, dan sarana busnya. Kalau tidak sesuai, misalkan, ada bus yang kurang laik, dan ketahuan, itu menjadi preseden buruk bagi pengelola,” kata Sumaryoto.
Direktur PT Anindya Mitra Internasional Dyah Puspitasari, pihak yang mendapat penugasan dari Pemda DIY untuk mengelola Trans-Jogja, membenarkan hal tersebut. Bentuk pengelolaan terbaru ini adalah tantangan dari pemerintah kepadanya. Ia harus bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dengan segala keterbatasan.
”Pelayanan kepada masyarakat adalah tugas utama yang harus kami penuhi sebagai perusahaan di bidang pelayanan publik. Dengan pengelolaan sekarang, kami harus mengontrol betul pelayanan karena sekarang pengelolaan sepenuhnya ada pada kami. Jika pelayanannya buruk, itu berpengaruh pada perusahaan kami,” kata Dyah.
Selain itu, Dyah menyatakan, Trans-Jogja tidak dapat beroperasi dengan optimal jika belum diprioritaskan sebagai angkutan umum. Hal tersebut pun berpengaruh pada bagaimana cara para sopir mengemudikan busnya.
”Keluhan yang sering masuk adalah kenapa sopir bus berjalan seenaknya sendiri dan terkadang mengebut. Sebenarnya, itu karena Trans-Jogja ikut terhambat lajunya karena kepadatan lalu lintas. Padahal, mereka harus memenuhi standar interval waktu tertentu,” kata Dyah.
Hal serupa diungkapkan Sumaryoto. Ia berpendapat, sejauh Trans-Jogja tidak memperoleh prioritas, angkutan itu tidak akan bisa mengambil hati masyarakat. Kebanyakan penggunanya adalah pelanggan lama dari angkutan itu.
”Sepanjang belum mendapatkan prioritas, Trans-jogja tidak menarik bagi masyarakat kecuali memang pengguna setia dari dulu. Jadi, penggunanya, ya, itu-itu saja,” kata Sumaryoto.
Trans-Jogja tidak dapat beroperasi dengan optimal jika belum diprioritaskan sebagai angkutan umum.
Kristyadi (18), siswa SMA, sehari-harinya pulang sekolah menggunakan Trans-Jogja. Alasannya menggunakan kendaraan itu adalah karena tarifnya yang murah. Pelajar yang membuat kartu langganan hanya dikenai biaya Rp 1.800 setiap kali perjalanan.
”Pulang sekolah masih memungkinkan karena tidak terkejar waktu. Tapi, kalau untuk berangkat sekolah, dan butuh waktu cepat, saya tidak menjamin karena kadang-kadang bus terlambat datang,” kata Kristyadi.
Berkaitan dengan aduan dan keluhan masyarakat, Dyah mengungkapkan, pihaknya sangat terbuka terhadap hal tersebut. Tertera nomor telepon untuk pengaduan yang bisa dihubungi di setiap armada. Ia juga akan langsung menindaklanjuti laporan-laporan tersebut untuk memberikan pelayanan yang lebih optimal.
Selain itu, Dyah menyampaikan, Trans-Jogja bisa menjadi angkutan umum andalan masyarakat jika ada sinergi dalam pengelolaan. Harus dibangun sistem yang baik agar angkutan bisa beroperasi dengan lancar tanpa ada hambatan. Pembangunan halte dan jalur harus dilakukan secara holistik agar menjawab kebutuhan masyarakat.
”Kita harus tahu apa yang diinginkan masyarakat. Apakah halte dan jalur yang sudah ada ini benar-benar yang diinginkan masyarakat? Saya meyakini, jika sistem didesain sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat, minat masyarakat untuk beralih ke transportasi publik pasti terjadi,” kata Dyah.
Sumiasih (40), ibu rumah tangga, mengatakan, pihaknya enggan menggunakan Trans-Jogja karena harus berjalan agak jauh sekitar 800 meter dari rumahnya. Ia pun lebih memilih untuk menggunakan ojek daring yang langsung menjemputnya tepat di depan rumahnya.
”Saya harus jalan cukup jauh jadi belum berminat. Memang, Trans-Jogja harganya lebih murah, tetapi ojek online bisa langsung jemput saya,” ujar Sumiasih.
Terkait hal itu, Sumaryoto mengatakan, dalam membuat halte tidak mudah. Selalu ada penolakan yang membuat perencanaan halte tidak sesuai dengan kajian yang sudah dilakukan. Penolakan itu berasal dari pedagang kaki lima atau orang lain yang memanfaatkan secara ekonomis atas sebagian bidang jalan yang akan dibuat halte.
”Meskipun tempat halte itu sudah strategis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetap saja ada penolakan. Biasanya dari PKL atau tukang parkir. Dulu pernah dibuat halte, tetapi lalu haltenya dirusak atau dilempari. Jadi, kami harus menggeser atau memindahkan lokasinya,” kata Sumaryoto.