Surabaya, Kompas - Luasnya wilayah Indonesia dan posisinya yang berada di jalur Cincin Api sehingga beberapa kali dilanda bencana membuat kehadiran kapal yang berfungsi sebagai rumah sakit bantu amat dibutuhkan.
”Dengan kondisi geografis yang amat luas dan kerap diguncang bencana, Indonesia seharusnya memiliki tiga KRI rumah sakit bantu,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Siwi Sukma Adji seusai peresmian pengoperasian KRI Semarang-594 di Dermaga Galangan Kapal Niaga PT PAL Indonesia (Persero), Surabaya, Jawa Timur, Senin (21/1/2019).
KRI Semarang berjenis landing platform dock (LPD) seperti halnya KRI dr Soeharso. Dua kapal itu kini berfungsi sebagai rumah sakit bantu.
KRI Semarang yang berukuran panjang 124 meter dan lebar hampir 22 meter ini mampu berlayar dengan kecepatan 14 knot, sedangkan kecepatan maksimal 16 knot. Daya jelajahnya 17.300 kilometer atau setara pelayaran 30 hari.
Dalam operasi perang, LPD merupakan kapal amfibi untuk membawa, meluncurkan, dan mendaratkan elemen tempur. Terkait hal itu, KRI Semarang dilengkapi dengan dua landing craft utilities (LCU) yang mampu mengangkut 8 kendaraan tempur jenis Anoa, 28 truk, dan 3 helikopter. KRI yang diawaki 121 kru ini juga mampu mengangkut 650 prajurit tempur yang setara dengan kekuatan satu batalyon.
Namun, karena difungsikan sebagai rumah sakit bantu, dalam lambung KRI itu berisi antara lain ambulans, mobil jenazah, bilik dekontaminasi, tenda instalasi gawat darurat, tindakan, dan apotek, peti kemas untuk laboratorium, radiologi sinar-X, ruang pra/pasca operasi, ruang rawat pasien, dan ruang jenazah. KRI dr Soeharso dan KRI Semarang akan banyak membantu misi kemanusiaan penanganan bencana alam.
Dengan diresmikannya KRI Semarang, TNI AL berencana memesan satu buah KRI rumah sakit bantu lagi ke PAL. ”Pembuatan kapal ketiga akan dimulai tahun ini dengan target penyelesaian pada 2021,” kata Siwi Sukma. Apabila kapal ketiga selesai dibangun, TNI AL berencana mengembalikan fungsi KRI Semarang sebagai LPD untuk operasi perang.
Triwulan ketiga 2019
Direktur Pembangunan Kapal PAL Turitan Indaryo mengatakan, pesanan kapal ketiga mulai dibangun pada triwulan ketiga tahun 2019. Lama pembuatan diperkirakan setara dengan KRI Semarang, yakni 23 bulan.
Nilai investasi atau kontrak belum diketahui, tetapi tak berbeda jauh dari nilai kontrak KRI Semarang yang besarnya Rp 736 miliar.
Direktur Utama PAL Budiman Saleh mengatakan, kepercayaan dari negara, dalam hal ini TNI AL, untuk mengoperasikan produk buatan dalam negeri harus dijawab dengan kesiapan untuk terus membuat dan mengembangkan kapal perang.
”Pengembangan teknologi kemaritiman merupakan keniscayaan dan kewajiban yang harus kami penuhi bersama dengan lainnya untuk kedaulatan bangsa dan negara,” katanya.
Pembangunan LPD tidak lepas dari kesuksesan peluncuran KRI Tanjung Dalpele pada 2003 dari galangan Daesun Shipbuilding & Engineering Corp di Korea Selatan. KRI yang kemudian diubah namanya menjadi KRI dr Soeharso itu dibuat oleh para insinyur perkapalan dari Indonesia dan Korea. Kesuksesan ini mendorong Indonesia menyusun program pembangunan LPD secara mandiri melalui pola alih teknologi dan peningkatan material lokal secara bertahap.
Rancang bangun KRI dr Soeharso dipakai sebagai dasar untuk membangun LPD lainnya. Untuk tahap pertama pembangunan disepakati empat LPD, yakni dua unit dibangun di Korea dengan keterlibatan para insinyur Indonesia dan dua unit lainnya dibangun di PT PAL.
Kemudian, dari Korea meluncur LPD Makassar Class, yakni KRI Makassar-590 dan KRI Surabaya-591. Sementara itu, dari PT PAL, hadir KRI Banjarmasin-592 dan KRI Banda Aceh-593.