JAKARTA, KOMPAS – Taruna Siaga Bencana di beberapa wilayah sudah memiliki program rutin pelatihan mitigasi bencana ke sekolah dan madrasah. Akan tetapi, untuk skala nasional, mereka membutuhkan kejelasan aturan mengenai cara pengajaran yang bersifat intrakurikuler atau pun ekstrakurikuler.
"Tagana (Taruna Siaga Bencana) di Kota Yogyakarta misalnya sudah memiliki jejaring dengan 100 sekolah dan madrasah beserta program rutin untuk peningkatan keterampilan tanggap bencana. Minimal satu kali dalam setahun mereka mengadakan pelatihan di tiap sekolah," kata Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial Margowiyono ketika ditemui di Jakarta, Jumat (18/1/2019). Ia didampingi Kepala Subdirektorat Penanganan Korban Bencana Alam Kemsos Iyan Kusmadiana yang membawahkan langsung 37.817 Tagana di seluruh Indonesia.
Selain Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi lain yang memiliki alokasi anggaran untuk Tagana adalah Jawa Barat, Aceh, dan Nusa Tenggara Timur. Bahkan, di Kabupaten Sumba Timur, NTT Tagana merupakan satu-satunya regu evakuasi dan penyelamatan sehingga mereka memiliki peran penting di masyarakat.
Di Kabupaten Sumba Timur, NTT Tagana merupakan satu-satunya regu evakuasi dan penyelamatan sehingga mereka memiliki peran penting di masyarakat.
Padahal, kata Margowiyono, Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2012 tentang Tagana mengamanatkan agar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota merekrut dan melatih Tagana. Kemsos bertindak sebagai regulator dan fasilitator untuk menjaga standar pelatihan dan kecakapan Tagana.
"Kalau ada aturan teknis yang baru akan lebih baik karena menjelaskan posisi Tagana di sekolah," ujarnya.
Relawan
Tagana merupakan relawan dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan profesi yang bertugas di bawah komando Kemsos dalam penanggulangan bencana. Mereka ketika direkrut harus dalam rentang usia 18-45 tahun dan memiliki fisik yang kuat untuk menghadapi berbagai kendala evakuasi.
Dalam kesehariannya, para anggota Tagana menjalani profesi masing-masing. Akan tetapi, mereka harus siap sedia ke lapangan ketika terjadi situasi darurat di wilayah mereka atau pun di wilayah terdekat.
Iyan menjelaskan, para anggota Tagana mengembangkan program di wilayah domisili masing-masing. Salah satunya adalah Kampung Siaga Bencana yang pada 2018 sudah berjumlah 638. Program lainnya adalah Tagana datang ke sekolah dan madrasah untuk memberi pengetahuan dan pelatihan tanggap bencana.
Idealnya ada pendidikan mulai dari pencegahan bencana, pengaturan denah sekolah, pelatihan tanggap bencana, hingga membangun kembali mental agar bangkit dari bencana. "Akan tetapi, masalahnya banyak sekolah yang jadwalnya sudah padat. Pelatihan oleh Tagana fokus kepada sosialisasi kesiapsiagaan, keterampilan taktis dalam situasi bencana, dan motivasi budaya responsif bencana," ujarnya.
Idealnya ada pendidikan mulai dari pencegahan bencana, pengaturan denah sekolah, pelatihan tanggap bencana, hingga membangun kembali mental agar bangkit dari bencana.
Pelatihan tersebut, lanjut Iyan, memberi guru dan siswa kompetensi minimal agar ketika bencana tidak kalang kabut, melainkan bisa segera menyelamatkan diri secara sistematis. Ia mencontohkan, Madrasah Aliyah Negeri 3 Kabupaten Karawang, Jawa Barat memiliki ekstrakurikuler Siswa Siaga Bencana yang dibina oleh Tagana. Mereka aktif melakukan advokasi ke warga sekitar.
Suplemen kurikulum
Secara terpisah, pakar kurikulum dari Universitas Negeri Yogyakarta Ali Muhtadi menjelaskan pentingnya ada payung hukum aturan mengenai suplemen kurikulum yang mengkoordinasikan kewenangan kementerian/lembaga terkait agar tidak tumpang tindih. Aturan juga harus menjelaskan secara terperinci pembagian materi ke berbagai mata pelajaran, ekstrakurikuler, muatan lokal, dan komite sekolah.
"Kurikulum sejatinya fleksibel mengembangkan silabusnya sesuai kebutuhan masyarakat. Namun, beban kerja guru membuat mereka hampir tidak memiliki waktu untuk mencari sendiri materi tambahan," tutur Ali.
Oleh sebab itu, suplemen kurikulum menjelaskan jenis-jenis materi yang bisa diajarkan di setiap mata pelajaran. Ia mencontohkan, pelajaran IPA membahas tentang jenis-jenis bencana dan metode pencegahannya. Dalam IPS diajarkan pengaruh dinamika masyarakat terkait pelestarian lingkungan. Sementara, dalam pelajaran Bahasa Indonesia siswa bisa menulis esai mengenai analisa mereka terhadap titik rawan dan titik aman di rumah masing-masing.
"Pendidikan itu adalah pengetahuan, kesiapsiagaan, dan sikap. Kalau bisa, dalam aturan ditegaskan agar setiap akhir semester harus ada simulasi evakuasi bencana," ucapnya.