Tony Prasetiantono di Antara Ekonomi dan Jazz
Puluhan karangan bunga berderet di sekitar rumah ekonom Tony Prasetiantono di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (17/1/2019). Pengirimnya beragam, dari pejabat seperti Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga teman-teman Tony.
Mereka semua turut berbelasungkawa atas meninggalnya Tony yang merupakan dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Yogyakarta. Tony berpulang pada usia 56 tahun, Rabu (16/1/2019) malam, di Jakarta. Jenazahnya lalu diterbangkan ke Yogyakarta dan tiba di rumah duka pada Kamis pukul 14.15.
Menurut rencana, jenazah Tony akan dimakamkan di kompleks makam keluarga besar UGM di Sawitsari, Sleman, Jumat (18/1/2019) siang. Acara pemakaman menunggu kedatangan istri dan anak Tony yang masih dalam perjalanan dari Belanda.
Ferry Kurniawan (40), keponakan almarhum, mengatakan, istri dan anak almarhum direncanakan tiba di Yogyakarta pada Jumat pagi. ”Istri Pak Tony kebetulan sedang menjenguk sang anak yang kuliah di Belanda. Sebenarnya, almarhum juga ikut bersama istrinya ke Belanda, tetapi pulang lebih dulu,” ujarnya.
Sepanjang hidupnya, Tony menjalani peran di dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, lelaki kelahiran Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 27 Oktober 1962, ini merupakan ekonom yang akrab dengan angka-angka dan hitung-hitungan matematis. Apalagi, Tony belajar ekonomi hingga jenjang doktoral.
Sesudah menjalani studi S-1 di Fakultas Ekonomi UGM dan lulus pada 1986, ia menjadi dosen di almamaternya. Setelah itu, Tony melanjutkan pendidikan master di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, lalu mengambil studi doktoral di Australian National University, Australia.
Sebagai ekonom, Tony tak hanya mengajar di kampus, tetapi juga aktif menulis di media massa dan kerap diminta menjadi pembicara di beragam forum. Selama beberapa tahun terakhir, misalnya, Tony menjadi kolumnis tetap di harian Kompas. Kolom terakhir Tony di Kompas berjudul ”Masih Ada Ruang” dan dimuat di halaman 1 surat kabar tersebut pada 8 Januari 2019.
Dekan FEB UGM Eko Suwardi menuturkan, Tony merupakan sosok yang sangat memahami kondisi perekonomian nasional dan global. Sebagai ekonom, Tony juga dinilai memiliki analisis yang sangat tajam mengenai berbagai persoalan.
”Sivitas akademika FEB UGM, dan UGM secara umum, merasa kehilangan beliau. Pak Tony merupakan salah satu ekonom terkemuka yang analisisnya sangat tajam dan kerap memberikan informasi tentang perekonomian kepada masyarakat,” tutur Eko yang merupakan teman seangkatan Tony saat belajar di Fakultas Ekonomi UGM.
Kegigihan
Di sisi lain, Tony ternyata merupakan penggemar berat musik jazz. Namun, dia tampaknya tak puas menjadi sekadar penikmat jazz. Itulah kenapa, sejak tahun 1987, saat ia masih dosen muda di Fakultas Ekonomi UGM, Tony memutuskan untuk menginisiasi konser musik bertajuk ”Economics Jazz Live” di Yogyakarta.
Sebagai promotor konser musik, Tony dikenal gigih. Begitulah kesaksian Hery Nugroho (52), alumnus Fakultas Ekonomi UGM yang ikut menjadi panitia penyelenggaraan Economics Jazz Live pertama kali.
”Saya tahu bagaimana berdarah-darahnya beliau menggelar acara itu pertama kali. Semua panitia diminta untuk mencari sponsor ke sana kemari. Saya ingat betul, waktu itu, sponsor yang bisa saya dapat nilainya hanya Rp 45.000,” ujar Hery.
Hery menyebutkan, penyelenggaraan Economics Jazz Live pertama diwarnai sejumlah kekurangan, antara lain menyangkut sponsor. Dia mengisahkan, saat itu panitia mendapat sponsor dari Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Diponegoro (sekarang Kodam IV/Diponegoro). Namun, panitia Economics Jazz Live justru salah menuliskan nama institusi militer itu dalam spanduk acara.
”Entah bagaimana ceritanya, kami dapat sponsor dari Kodam. Mereka meminta kami membuat spanduk. Tetapi, karena kelelahan, kami menulisnya Kodam VII/Dinogoro. Langsung mereka menelepon kami dan marah-marah. Akhirnya kami langsung mengganti spanduk itu,” cerita Hery.
Dalam penyelenggaraan konser pertama itu, panitia yang terdiri dari mahasiswa dan dosen, termasuk Tony, juga harus nombok karena pemasukan yang didapat lebih kecil daripada biaya operasional.
”Itu pengalaman yang menurut saya sangat berkesan, ketika kami bisa menggelar pergelaran jazz yang begitu hebat pada waktu itu, hanya dengan modal nekat,” lanjut Hery.
Namun, Tony dan panitia Economics Jazz Live tak menyerah. Mereka terus menggelar konser kedua, ketiga, dan seterusnya. Bahkan, di luar dugaan, konser tersebut mampu bertahan selama 31 tahun. Memang, Economics Jazz Live sempat vakum selama beberapa tahun, kebanyakan karena Tony tengah melanjutkan studi di luar negeri. Namun, saat ia kembali ke Tanah Air, Tony menunjukkan konsistensinya sebagai promotor konser musik jazz.
Dalam rentang waktu 1987-2018, Tony dengan dibantu para mahasiswanya di FEB UGM telah menyelenggarakan 24 kali konser Economics Jazz Live yang kemudian berganti nama menjadi UGM Jazz. Konser terakhir digelar 3 November 2018 di Grand Pacific Hall, Sleman.
Musisi dunia
Dalam konser-konser yang ia selenggarakan, Tony pernah mengundang sejumlah kelompok musik legendaris Indonesia, misalnya Karimata, Krakatau, Emerald, dan Elfa’s Singer.
Para musisi kawakan Indonesia, sebut saja Embong Rahardjo, Tri Utami, Ruth Sahanaya, Harvey Malaiholo, Tohpati, Syaharani, Mus Mujiono, Ireng Maulana, dan Idang Rasjidi, juga pernah tampil dalam konser yang dipromotori Tony itu.
Sejak tahun 2011, Tony mulai berani menghadirkan musisi jazz kelas dunia. Dalam kurun waktu 2011-2018, Tony mengundang sejumlah musisi jazz internasional, dari Michael Paulo, David Benoit, Casiopea, Lee Ritenour, Phil Perry, Dave Koz, Peabo Bryson, Patti Austin, hingga Bob James.
Dalam sebuah kesempatan, Tony mengisahkan, saat dirinya mulai menggelar Economics Jazz Live tahun 1987, sebagian masyarakat Indonesia sedang gandrung pada genre musik jazz fusion. Ini adalah jenis musik jazz yang ”tak murni” karena menggabungkan jazz dengan unsur musik lain, seperti rock, funk, dan soul.
”Waktu saya membuat Economics Jazz Live tahun 1987, Indonesia sedang senang-senangnya aliran musik yang sebetulnya enggak jazz betul. Namanya jazz fusion. Di Indonesia, salah satu tokohnya adalah Karimata, di Jepang ada Casiopea, di Amerika ada Yellowjackets, kemudian di Eropa ada Mezzoforte,” kata Tony saat konferensi pers UGM Jazz 2018, Jumat (2/11/2018), di Yogyakarta.
Kegandrungan itulah yang akhirnya membuat Tony memilih menghadirkan banyak musisi jazz fusion dalam konser-konser yang ia promotori. Pilihan itu juga didasari keyakinan bahwa karya musisi jazz fusion lebih komunikatif dan mudah dicerna sehingga lebih mudah menarik minat masyarakat Indonesia.
Barangkali, karena itu pula, Tony juga memilih menghadirkan Patti Austin yang punya sejumlah lagu bernuansa nge-pop dan Bob James yang dikenal dengan musik smooth jazz yang easy listening.
Dalam konsernya beberapa tahun terakhir, Tony juga mengundang penyanyi muda Indonesia yang tengah tenar, seperti Raisa, Isyana Sarasvati, juga Kunto Aji. Pilihan itu diambil guna menarik lebih banyak anak muda untuk menonton konser Economics Jazz Live.
Namun, terlepas dari pilihan dan preferensi musiknya, Tony tetap mempertahankan ciri khas Economics Jazz Live, yakni harga tiket yang terjangkau. Meski sejak tahun 2011 selalu menghadirkan bintang jazz dunia, tiket konser tersebut selalu dijual dengan harga relatif murah dibandingkan konser musik lain yang juga menghadirkan musisi internasional.
Pada tahun 2018, misalnya, tiket konser UGM Jazz dijual dengan harga Rp 200.000 sampai Rp 800.000. Itulah kenapa konser musik yang diinisiasi Tony tersebut dikenal sebagai konser musik internasional, tetapi tiketnya dijual dengan ”harga angkringan”.
Dengan dedikasi besarnya pada musik jazz, kepergian Tony tentu tak hanya ditangisi kalangan ekonom di Indonesia. Para penggemar jazz di Tanah Air pastilah juga merasa kehilangan salah satu promotor jazz terbaik di Indonesia itu.