Penyitaan Tanpa Proses Pengadilan adalah Kesewenang-wenangan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dua bulan terakhir, aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan kembali menyita buku-buku yang diduga mengandung ajaran komunis di sejumlah daerah. Sejumlah pihak menilai, penyitaan buku tanpa proses pengadilan tersebut sebagai kesewenang-wenangan karena menghalangi hak masyarakat atas informasi serta membungkam kebebasan berekspresi.
Pada 26 Desember 2018, penyitaan buku dilakukan di sebuah toko buku di Kediri, Jawa Timur. Selanjutnya, pada 8 Januari 2019 aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan kembali menyita beberapa eksemplar buku di toko buku di Padang, Sumatera Barat. Pada 8 Januari 2019, aparat juga menyita buku-buku di toko buku Tarakan, Kalimantan Utara.
Dasar yang dijadikan aparat gabungan untuk merazia dan menyita buku-buku tersebut adalah TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme.
“Kami menduga penyitaan dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan proses hukum di persidangan untuk menilai apakah buku-buku tersebut memiliki muatan penyebaran ajaran komunisme atau tidak,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, Selasa (15/1/2019), di Jakarta.
Menurut Ade, penyitaan tanpa proses pengadilan terlebih dulu tersebut adalah tindakan sewenang-wenang yang membatasi kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945. “Semestinya, kebebasan berpendapat yang tertuang dalam bentuk produk akademik wajib dilindungi dan dijamin oleh negara,” kata dia.
Semestinya, kebebasan berpendapat yang tertuang dalam bentuk produk akademik wajib dilindungi dan dijamin oleh negara.
Penyitaan buku-buku di sejumlah tempat juga menegaskan adanya pembatasan masyarakat untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi, maka sebelum melakukan penyitaan semestinya buku-buku yang dicurigai bermuatan ajaran komunis diuji di persidangan terlebih dulu.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang melakukan uji materiil terhadap UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan menyatakan bahwa penyitaan buku-buku tanpa didahului proses pengujian di persidangan merupakan tindakan yang bertentangan dengan due process of law (dalam proses penegakan hukum kita diperintah oleh hukum, bukan orang atau atasan).
Jamin kebebasan ekspresi
Senada dengan LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyatakan bahwa operasi penyitaan buku tanpa putusan hukum merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat atas informasi dan kebebasan berekspresi.
“Pembiaran razia dan penyitaan buku ini juga mengancam demokrasi di Indonesia. Sebab aparat negara yang semestinya memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan hak masyarakat atas informasi, justru menjadi perampas kedua hak masyarakat tersebut,” kata Koordinator Advokasi AJI Sasmito.
Menyikapi sejumlah insiden penyitaan buku ini, LBH Pers dan AJI mendesak kepada aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan untuk menghentikan proses penyitaan buku-buku di berbagai daerah dan segera mengembalikan buku-buku yang disita. Selain itu, mereka juga menuntut jajaran Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung mengevaluasi para personil yang merazia dan menyita buku tanpa proses pengadilan dan kajian terlebih dahulu.
Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, R Siti Zuhro, dalam artikelnya di harian Kompas, Rabu (2/1/2019), mengamati tingginya ancaman pembelahan sosial sepanjang 2018 yang terkait dengan pemilihan umum.
“Berbagai opini dan berita hoaks terus-menerus mengaduk-aduk perasaan masyarakat, khususnya melalui media sosial, mulai dari isu kriminalisasi ulama, tenaga kerja asing, utang luar negeri, hingga isu PKI. Salah satu pemicunya adalah karena ketimpangan sosial masih tinggi sebagaimana tecermin dalam rasio gini yang berada di level 0,389,” ujarnya.
Setiap tahun, isu klasik kebangkitan PKI selalu dihembuskan di tengah-tengah memanasnya situasi politik. Padahal, sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia semestinya mau terus-menerus berinterospeksi dan berefleksi dari kisah-kisah sejarah kelamnya di masa lalu, bukan justru dengan menutup rapat-rapat “noda hitam” di baliknya.