JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kendala menghambat dalam penetapan batas wilayah desa yang presisi dengan metode kartometrik. Akibatnya, hingga kini, mayoritas desa masih menggunakan batas alam sebagai penanda batas desa. Padahal, penetapan tapal batas yang presisi penting untuk mencegah konflik antardesa yang kerap terjadi karena sengketa batas desa.
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nata Irawan mengatakan, di Jakarta, Rabu (16/1/2019), setiap desa yang ada saat ini sebenarnya sudah memiliki batas desa.
Namun, batas desa itu masih berupa batas alam, seperti sungai atau bukit. Ini seperti tercantum dalam peraturan daerah yang menjadi dasar pembentukan setiap desa.
”Data mengenai peta batas desa berdasarkan kaidah kartometrik sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 hingga saat ini belum diperoleh data yang pasti dan akurat,” katanya.
Berdasarkan data Lembaga Daulat Desa, setidaknya baru 5 persen dari total 74.093 desa yang batas wilayahnya ditetapkan dengan metode kartometrik.
Menurut Nata, penetapan dengan kaidah kartometrik terkendala karena peta batas desa belum dapat diakses melalui Geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP). Geoportal KSP yang diluncurkan Presiden Joko Widodo, pertengahan Desember 2018, bertujuan untuk menyediakan satu peta yang akurat dan akuntabel.
”Dari 85 peta tematik yang menjadi target, ternyata ada dua yang tidak tercapai dan tidak dapat dintegrasikan ke Geoportal tersebut, yaitu peta batas desa dan peta rencana tata ruang laut nasional,” katanya.
Hambatan lainnya, menurut Nata, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah dialokasikan melalui Badan Informasi Geospasial (BIG) selama tiga tahun untuk lebih kurang 40.000 peta desa ternyata belum dapat ditetapkan dalam bentuk peraturan bupati atau wali kota. Oleh karena itu, Kemendagri terus berkoordinasi dengan kepala desa dan jajarannya di 40.000 desa itu agar usulan peta indikatif segera ditetapkan sebagai peta definitif.
”Kami sedang bahas secara intens dengan kepala desa, badan musyawarah desa, dan Mendagri sambil terus memantau di lapangan. Kemudian, kami baru bisa menetapkan peta indikatif menjadi definitif. Prosesnya memang tak sebentar,” ujarnya.
Sebelumnya, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho menilai ketidakjelasan batas wilayah desa bisa berpotensi menimbulkan masalah hukum dan menyebabkan ketidakjelasan sumber daya yang merupakan kekayaan desa. Setidaknya ada tiga potensi masalah yang timbul karena ketidakjelasan batas desa, seperti konflik kepemilikan aset daerah, pemanfaatan sumber daya alam, dan data kependudukan.