Mencari Jalan Melepas Beban Masa Lalu
Momen pemilu selalu membawa memori bangsa ke arah masa lalu. Memori dibawa ke era Orde Baru atau bahkan jauh sebelumnya. Telah menjadi fakta politik bahwa masalah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tetap menjadi beban sejarah yang tak kunjung bisa diselesaikan bangsa Indonesia.
Tema HAM dan korupsi kembali menjadi topik bahasan dalam debat presidensial perdana yang akan diselenggarakan di Hotel Bidakara, Jakarta, 17 Januari 2019. Dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, akan menyampaikan pemikirannya soal HAM, korupsi, terorisme, dan hukum. Dalam dokumen visi, misi, dan program pasangan calon yang diunggah di laman daring Komisi Pemilihan Umum, Joko Widodo-Ma’ruf Amin masih mencantumkan keinginan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. Sementara dalam dokumen visi, misi, dan program Prabowo-Sandiaga tidak tertera program itu.
Setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru, lima presiden telah memimpin bangsa ini. Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Jenderal TNI (Hor) (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo. Kelima presiden itu belum bisa melepaskan beban pelanggaran HAM masa lalu.
Hampir dalam setiap transisi kekuasaan, pemerintahan akan dihadapkan pada pekerjaan rumah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Dalam konteks Indonesia, paling tidak ada sejumlah kasus yang disebut-sebut sebagai pelanggaran HAM masa lalu. Kasus-kasus tersebut meliputi peristiwa 1965-1966, kasus Talangsari Lampung 1989, peristiwa penembakan Trisakti-Semanggi dan kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Wasior-Wamena, peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999, dan kasus Rumoh Geudong Aceh. Sembilan kasus itu hanya mondar-mandir di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. ”Secara substansi tidak ada kebaruan petunjuk dari Jaksa Agung,” kata Choirul Anam, komisioner Komnas HAM. Sementara Jaksa Agung Prasetyo menyebut bukti pendukung masih minim. Ia pun menyarankan pendekatan non-yudisial agar korban bisa memperoleh keadilan (Kompas, 11/1/2019).
Kasus lama itu terus menggelayuti perjalanan bangsa. Mau sampai kapan? Tidak pernah ada yang tahu. Bergantung pada komitmen dan kekuatan politik. Bahkan, pelanggaran HAM lain juga bermunculan pascareformasi, seperti pembunuhan aktivis HAM, Munir, dan penyiraman air keras ke wajah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.
Hadapi resistensi
Dalam dokumen Nawacita tahun 2014 yang mengantarkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden, tertera keinginan Jokowi-Kalla untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. Disebutkan detail kasus yang hendak diselesaikan. Namun, realitas politik mengatakan tidak mudah bagi Presiden Jokowi, presiden sipil pertama yang dipilih dalam pilpres secara langsung, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Upaya menggelar simposium tahun 1965 menjadi kontraproduktif bagi Jokowi. Ada resistensi di sana! Ada perlawanan di sana.
Kesulitan itu bukan hanya dihadapi Jokowi. Presiden sebelum Jokowi juga menghadapi resistensi yang sama. Upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu tertatih-tatih, merangkak, dan akhirnya pudar, ditelan waktu.
Presiden KH Abdurrahman Wahid pada 26 Agustus 1998 memprakarsai pembentukan Komisi Pencari Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Pada 8 November 2001, MPR menugaskan Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pada 11 Juni 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR dan 7 September 2004 DPR menyetujui UU KKR untuk disahkan.
UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjadi ”jalan tengah” untuk menyelesaikan beban masa lalu. Undang-undang memerintahkan agar KKR segera dibentuk setahun setelah UU KKR disahkan. Namun, situasi politik menunjukkan hal berbeda. Megawati kalah dalam pemilihan presiden secara langsung pertama. Terpilihlah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat 2004-2009 dan kemudian terpilih lagi dalam periode kedua, 2009-2014.
Tugas membentuk KKR ada di pundak Yudhoyono. Yudhoyono membentuk Panitia Seleksi Calon Anggota KKR. Pada 3 Agustus 2005, panitia seleksi menyerahkan 42 nama calon anggota KKR kepada Presiden Yudhoyono untuk kemudian ditetapkan 21 nama. Namun, pemilihan calon anggota KKR itu pun ternyata tidak mudah.
Seperti dikutip Kompas, 24 Februari 2006, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, ”Presiden menimbang-nimbang dan mencari waktu yang tepat untuk membentuk KKR.” Yusril pun mengatakan, Presiden Yudhoyono akan meminta panitia seleksi melakukan pendalaman kembali atas 42 nama yang diajukan. Presiden akan berkonsultasi dengan sejumlah lembaga tinggi negara lain.
Keinginan untuk membentuk KKR akhirnya tamat! Mahkamah Konstitusi pada 8 Desember 2006 membatalkan UU KKR. Dengan dibatalkannya UU KKR, maka KKR pun mati sebelum dilahirkan! Upaya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu lantas kandas.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu pun menemui jalan buntu. KKR menjadi alternatif setelah mekanisme pengadilan HAM ad hoc gagal mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan. Eksperimen pencarian keadilan transisional di Indonesia gagal. Pengadilan HAM ad hoc Timtim hanya menetapkan seorang sipil: Eurico Gutteres sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Pengadilan koneksitas yang digelar untuk kasus penyerbuan kantor DPP PDI 27 Juli 1996 hanya berhasil membuktikan seorang buruh melempar batu. Dalam kasus pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok pun semua terdakwa dibebaskan!
Jalan penyelesaian
Dua jalur eksperimen penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu—jalur pengadilan HAM ad hoc dan jalur rekonsiliasi—telah gagal atau digagalkan. Korban hampir tak pernah diberi ruang mengungkap kebenaran dan menuntut keadilan. Format rekonsiliasi yang ditawarkan sebagai upaya berdamai dengan masa lalu pun kandas. Inilah yang disebut Bertrand Russell sebagai ”kejahatan diam”.
Ingatan individual bisa saja dimatikan. Munir dimatikan dengan cara diracun, Wiji Thukul dilenyapkan, dan sejumlah mahasiswa ditembak. Namun, ingatan sosial publik tetap hidup dan selalu menggugat impunitas. Memori sosial itu muncul, terutama jelang pemilu.
Haruslah diakui, reformasi yang tahun ini berusia 21 tahun belum bisa melepaskan beban masa lalu. Berbeda dengan Afrika Selatan yang bisa menyelesaikan beban masa lalunya. Beruntung Afrika Selatan punya Nelson Mandela yang bisa berkompromi dengan Presiden FW de Klerk. Selain itu, ada juga penyelesaian dengan cara lustrasi (lustration) atau kebijakan ”pembersihan”, seperti dilakukan negara-negara eks Eropa Timur.
Indonesia memang belum ke mana-mana, bahkan tidak ke mana-mana. Guillermo O Donnell dan Philippe Schmitter dalam buku tetralogi Transisi Demokrasi menyebut demokratisasi sebagai proses menuju ketidakpastian. Ada kegamangan menyelesaikan masalah masa lalu; apakah akan mengajukan ke pengadilan (to punish), atau melupakan (to forget), atau dimaafkan (to forgive).
Samuel P Huntington dalam buku The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century menyarankan, ”Boleh jadi langkah yang paling rendah tingkat ketidakpuasannya adalah: jangan mengajukan ke pengadilan, jangan menghukum, jangan memaafkan, dan yang penting jangan juga melupakan.”
Menjerat ke pengadilan akan memicu perlawanan dan mengganggu stabilitas politik. Dilema itulah yang dihadapi Indonesia sekarang dan entah sampai kapan. Namun, di mana kemudian posisi korban? Secara moral susah dipertanggungjawabkan jika korban tetap jadi korban dan gagal memperoleh keadilan, tetapi orang yang patut diduga terlibat justru bisa ongkang-ongkang kaki di lingkaran kekuasaan, terus berupaya melupakan masa lalu.
Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America menulis, ”Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut.” Kegagalan kita menyelesaikan masa lalu akan terus terbawa ke masa depan.
Beban masa lalu butuh penyelesaian. Semoga debat capres soal HAM memberi harapan kepada korban dan keluarganya untuk mencari ”jalan ketiga” yang bukan rekonsiliasi dan juga bukan pengadilan untuk menghadirkan keadilan.