Butuh Keroyokan Menolong Petani Cabai
Sejumlah aparat sipil negara (ASN) di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, mulai Selasa (15/1/2019) mendapat tugas tambahan. Mereka diminta mendistribusikan cabai merah yang dibeli pemerintah untuk mengurangi beban petani akibat anjloknya harga.
Bungkusan cabai tersusun di kompleks halaman kantor Pemprov Jateng. Cabai-cabai itu pasokan dari petani di Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak. Cabai tersebut dibeli dengan harga Rp 18.000 per kilogram (kg) sesuai instruksi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
“Mbakyu apa mau mantu (pesta pernikahan anak), kok borong cabai banyak sekali,” tanya beberapa ASN yang terlambat membaca instruksi gubernur. Ada pula yang bingung, mau apa dengan cabai merah sebanyak 2-4 kilogram itu setelah dibawa pulang ke rumah. Banyak pula yang sudah punya rencana membagi cabai keriting ke tetangganya.
Gerakan beli cabai dilakukan oleh ASN untuk mengangkat harga cabai yang anjlok menjadi Rp 6.000 per kilogram (kg). Tak pelak lagi, di meja-meja kerja pejabat ada bungkusan cabai merah di samping tumpukan dokumen administrasi.
Gerakan itu bukan kali pertama dilakukan di Jateng. Medio Desember 2017, para ASN juga diminta membeli bawang merah masing-masing sebanyak 2 kg per orang guna membantu petani yang tengah gundah akibat anjloknya harga bawang merah.
Dengan jumlah ASN sekitar 17.000 orang, dalam jangka pendek, pembelian massal itu dapat menolong petani. Pembelian massal hasil panen petani oleh ASN, merupakan kebijakan pragmatis kepala daerah.
Tak hanya di tingkat provinsi, Bupati Demak HM Natsir pun memerintahkan pejabat dan staf ASN di kantornya membeli cabai keriting dari petani. Bahkan, untuk pejabat eselon II, setingkat sekretaris daerah, kepala dinas diminta membeli 10 kg sedangkan staf cukup 1-2 kg. Dengan jumlah ASN di Pemkab Demak sekitar 7.500 orang, pembelian serentak itu diyakini meredam gejolak.
Pembelian itu memberi harapan bagi petani. Nasuka, petani cabai di Kedungori, Kecamatan Dempet, Demak, misalnya mengatakan, pada hari Selasa, dia mulai memanen cabai setelah beberapa hari sebelumnya tidak panen. Saat ini, harga cabai di petani relatif mulai naik berkisar Rp 7.000 per kg-Rp 8.500 per kg. Cabai hasil panen petani yang tidak terbeli oleh ASN dikirim ke Magelang dengan harga pembelian Rp 15.000 per kg.
“Proses alur pembelian massal cabai petani tidak jelas. Jangan dibayangkan kalau ada pembelian massal, siapa saja bisa langsung setor ke koordinator pengumpulan cabai yang biasanya perangkat desa setempat. Perangkat desa yang juga petani cabai, biasanya memrioritaskan saudara atau petani dalam kelompoknya,” ujar Nasuka.
Pengurus kelompok tani cabai Sumber Rejeki di Desa Jerukgunung, Demak, Margono menuturkan, kawasan Dempet sudah lama terkenal sebagai penghasil cabai. Cabai dari sini banyak dikirim ke Jakarta dan Palembang. Petani mengandalkan pedagang lokal untuk memasarkan cabai ke luar kota. “Petani berharap, ada solusi jangka menengah buat penyelesaikan anjloknya harga,” ujarnya.
Beberapa petani cabai menilai, pembelian oleh ASN, termasuk oleh PT Indofood dan Toko Tani Indonesia (TTI) paling banyak hanya mampu menyerap 5 ton per hari. Proses penyerapan cabai oleh PT Indofood hanya berlangsung sampai Maret 2019. Adapun setiap hari, hasil panen cabai setiap desa berkisar 5 ton-8 ton.
Di Demak, luasan lahan cabai di setiap desa mencapai 100 hektar. Setiap hektar bisa panen 5-6 ton cabai. “Anjloknya harga yang jadi kisruh cabai ini bukan karena impor. Tapi di antaranya setelah cabai dihargai murah karena hasil panen tidak bisa masuk ke Sumatera, karena di sana juga sedang panen raya,” ujar Danuri, petani di Karangrejo, Demak.
Dosen ekonomi pertanian di Universitas Muhammadiyah Semarang, Hardi Witono mengemukakan, cabai, demikian halnya dengan produk holtikultura lain memang bersifat elastis. Fluktuasi harganya mudah terjadi di pasaran. Terlebih tidak ada mekanisme maupun lembaga di daerah bisa membatasi petani menanam komoditas secara bersamaan.
Oleh karena itu, petani butuh intervensi pemerintah. Namun, caranya bukan dengan pola pembelian massal yang mengerahkan pegawai negeri. Kebijakan ini hanya terasa sesaat. Praktik di lapangan juga hanya dinikmati oleh kelompok petani tertentu saja. Tidak bisa menyelesaikan inti persoalan yakni jaminan harga yang menguntungkan dari hasil budidiaya cabai.
Belum tersentuh daring
Sejak 2013, upaya stabilisasi harga sebenarnya sudah diarahkan melalui pemasaran daring (online). Ini seiring peluncuran aplikasi Sistem Informasi Produksi Komoditi (SiHaTi). Program ini hasil kerja sama Pemprov Jateng, Bank Indonesia, dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Jateng.
Program ini memang belum bisa menjangkau produsen alias petani. SiHaTi masih sebatas memberi informasi harga komoditas, terutama bahan pokok seperti beras, telur, minyak goreng, cabai, telur ayam, dan daging sebagai panduan bagi pengguna. Termasuk di dalamnya para pemasok komoditas supaya bisa saling menjaga harga agar tak dipermainkan tengkulak atau pengepul.
Program ini pun kini telah memasuki SiHaTi generasi III, diluncurkan April 2017 di Kantor Bank Indonesia Perwakilan Jawa Tengah. Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo ketika itu menyampaikan aplikasi generasi ketiga ini lebih lengkap fiturnya. Bahkan sudah menyentuh petani atau peternak. Ini bukan lagi tentang harga, petani bahkan bisa menentukan pengaturan pola tanam, guna menekan jatuhnya harga saat panen.
“Untuk aplikasi ini dapat mendukung data yang terus berkembang di sentra produksi komoditas tertentu. Data ini dipakai untuk mengambil keputusan termasuk upaya kerja sama perdagangan antardaerah, misalnya ketika Jateng panen raya padi maka provinsi lain yang butuh bisa dipasok,” ujar Ganjar.
Ada juga aplikasi Petani Go Online yang diluncurkan di Batang, September 2018. Aplikasi milik Kementerian Kominfo ini diharapkan jadi sumber acuan petani dalam melepas komoditas tanpa merugi.
Belum lagi aplikasi daring bernama regopantes.com yang ditujukan bagi para petani di pedesaan dan diluncurkan Gubernur Ganjar Pranowo pada September 2017 bertepatan Hari Tani Nasional di Semarang. Aplikasi ini diharapkan memotong mata rantai distribusi perdagangan berbagai komoditas pertanian. Namun sayangnya, aplikasi itu saat ini baru sebatas pengendalian inflasi, dengan menekan harga komoditas di pasaran. Belum menyentuh peningkatan kesejahteraan petani secara menyeluruh.
Pendampingan
Namun deikian, pengamat pertanian Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Sony Heru Priyanto, menilai selama petani tidak ada pendampingan, penerapan aplikasi-aplikasi semacam ini tidak akan efektif. Program Kartu Tani Indonesia (KTI) yang diharapkan mempermudah petani mendapat jatah alokasi pupuk bersubsidi saja belum jalan.
“Ada dua hal yang terlupakan oleh pemerintah. Setiap melakukan pemberdayaan petani, mereka mesti paham budaya petani belum secepat perubahan perilaku anak muda di perkotaan. Kartu Tani mengajarkan supaya petani menabung, melakukan ricek terhadap dananya di kartunya. Itu kan harus ke bank, belum lagi kalau beli pupuk tidak fleksibel karena pengecer tidak bisa melayani eceran jika menggunakan KTI,” kata Sony.
Petani cabai, yang juga Ketua Asosiasi Champion Cabai Indonesia, Tunov Mondro Atmodjo menyatakan, pemerintah lupa memandirikan petani. Di Magelang misalnya, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Giri Makmur di Grabag, memerlukan waktu untuk mendidik petani disiplin. Petani diajari mengatur pola tanam bergantian meskipun hanya dalam satu kabupaten.
Jika tanamnya tidak serentak, mereka bisa mengatur panen sesuai pangsa pasar. Hasil panen tidak boleh dijual kecuali pola penjualannya ditangani gapoktan. Gapoktan yang akan mengundang pedagang, kemudian menjualnya dengan sistem lelang.
“Gapoktan juga bisa memodali petani di lain kecamatan supaya menanam cabai. Hasil panennya nanti diserap gapoktan. Tentunya gapoktan harus menyediakan gudang penyimpanan yang memadai, serta tenaga pemasar yang mengirim cabai ke pasar-pasar potensial dengan harga kompetitif,” ujar Tunov.
“Gapoktan juga bisa memodali petani di lain kecamatan supaya menanam cabai. Hasil panennya nanti diserap gapoktan. Tentunya gapoktan harus menyediakan gudang penyimpanan yang memadai, serta tenaga pemasar yang mengirim cabai ke pasar-pasar potensial dengan harga kompetitif,” ujar Tunov.
Hardi menambahkan, pendekatan pemberdayaan petani juga harus berubah. Intervensi pemerintah tidak bisa lagi dilakukan saat harga jatuh, melainkan dimulai saat petani mulai menanam, memetakan daerah panen, serta membantu pascapanen. Pengolahan pascapanen paling penting karena harus ada gudang yang memadai supaya petani dapat menyimpan komoditas dalam jangka tertentu sehingga daya tawarnya tinggi.
Sony mengungkapkan, mekanisasi pertanian juga harus dilanjutkan. Saat produksi padi meningkat dari 5,5 ton-7 ton per hektar, menjadi 7 ton-9 ton per hektar, distribusi gabah justru tidak terkontrol. Efeknya, produksi beras masih dianggap kurang sehingga impor beras terjadi di musim paceklik.
Budidaya pertanian perlu dipandang dalam paradigma investasi. Lahan pertanian dengan hamparan luas mesti didukung mekanisasi pertanian modern dan pengelolaannya dikerjasamakan dengan investor besar. Investor itu ditunjuk pemerintah untuk menyediakan orang-orang yang punya kompetensi manajerial di bidang usaha tani.
Tugas mereka, mengelola kelanjutan lahan, mengatur permodalan budidaya serta mendistribusikan beras hasil pengolahan. Petani menikmati proses itu, mengingat dia bisa juga sebagai pemilik saham atas industrialisasi pertanian. Maka akhirnya, petani bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri.