Tahun Politik, Kebutuhan Gula Rafinasi Diproyeksi Naik
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perindustrian memproyeksikan kebutuhan gula kristal rafinasi untuk industri farmasi serta makanan dan minuman naik 5-6 persen pada 2019. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Kementerian Perindustrian akan menjaga kesinambungan pasokan bahan baku melalui izin importasi gula mentah untuk industri gula kristal rafinasi.
Meski demikian, pasokan gula dari produksi dalam negeri juga tetap menjadi prioritas. Peluang ini terbuka lebar berkat pengurangan kuota impor gula mentah pada 2018 sebanyak 800.000 ton.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri makanan dan minuman tumbuh 9,74 persen pada Januari-September 2018. Adapun industri farmasi diprediksi bakal tumbuh 7-10 persen, seiring proyeksi nilai investasi yang akan masuk di industri kimia, farmasi, dan tekstil (IKFT) sebesar Rp 130 triliun pada 2019.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono dalam siaran pers, Selasa (15/1/2019), mengatakan, kegiatan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang dilaksanakan serentak pada 17 April 2019 bakal membuat konsumsi produk makanan dan minuman melonjak.
”Kami memproyeksi pertumbuhan kedua sektor itu mampu di atas 7-8 persen pada 2019,” kata Sigit.
Pertumbuhan kedua sektor industri itu berdampak pada kebutuhan gula mentah sebagai bahan baku. Kemenperin memproyeksi kebutuhan gula kristal rafinasi (GKR) untuk sektor industri makanan dan minuman serta industri farmasi naik 5-6 persen per tahun.
Rekomendasi impor
Pada 2018, realisasi penyaluran GKR untuk industri makanan dan minuman serta farmasi mencapai 3 juta ton. Kebutuhan itu dipenuhi pabrik GKR yang mengolah gula mentah (raw sugar) impor sebesar 3,2 juta ton.
Untuk menjaga kesinambungan produktivitas sektor industri, kata Sigit, pemerintah berupaya memastikan ketersediaan bahan baku, salah satunya dengan impor. Menurut dia, rekomendasi impor yang dikeluarkan Kemenperin berupa impor gula mentah. Rekomendasi impor diberikan kepada industri yang mengolah gula mentah menjadi GKR untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman, serta farmasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor gula meningkat 7,91 persen periode 2013-2017. Selain itu, impor gula dari Januari-November 2018 mencapai 2,96 juta ton dari alokasi impor mencapai 3,6 juta ton hingga akhir 2018.
Adapun impor gula mentah yang akan diolah menjadi GKR dalam rangka memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman pada 2019 telah dialokasikan sebanyak 2,8 juta ton. Jumlah tersebut turun sekitar 12,5 persen dari alokasi impor pada 2018.
Sigit menambahkan, pemerintah berupaya menekan volume impor dengan menggenjot investasi industri gula terintegrasi dengan kebun. Saat ini sudah ada tiga investor yang menyatakan berkomitmen berinvestasi di sektor ini.
”Pabrik gula terintegrasi yang selesai baru satu dari tiga yang saat ini sedang melakukan investasi,” ujarnya.
Tidak gegabah
Sebelumnya, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) Soemitro Samadikoen kepada Kompas, Kamis (10/1/2019), meminta pemerintah tidak gegabah dalam memutuskan kuota impor gula.
Berdasarkan pengalaman tahun lalu, impor gula mentah dinilai berlebih sehingga pasar banjir gula, sedangkan harga gula petani tertekan hingga di bawah ongkos produksi.
”Selama ini jumlah impor gula melebihi kebutuhan. Alhasil, gula ini merembes ke pasaran bebas,” katanya.
Saat konferensi pers awal 2019, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, impor gula rafinasi dilakukan berdasarkan kebutuhan.
Menurut Enggartiasto, dari sisi pasokan, jumlah gula rafinasi dalam negeri tidak siap. Selain itu, kualitas gula rafinasi dalam negeri juga tidak sesuai dengan kriteria yang diminta industri makanan dan minuman.